Mohon tunggu...
Rahadi Wangsapermana
Rahadi Wangsapermana Mohon Tunggu... Pemerhati Perang Asimetris

Kemajuan bangsa sangat bergantung pada kepemimpinan yang memahami kearifan lokal, mengoptimalkan kekuatan agraris dan maritim, serta menjaga kebhinnekaan dari ancaman perang asimetris, baik secara internal maupun eksternal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Primordialisme: Ketika Rasa Asal-Usul Menjadi Pedang Bermata Dua

6 Juli 2025   12:55 Diperbarui: 6 Juli 2025   12:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pexel     Credit : Ikhsanico Henda Pratama

Di sebuah perkampungan di kaki Gunung, seorang tetua adat menyimpan naskah kuno leluhurnya, ditulis di atas daun lontar, disimpan dalam peti kayu jati yang mulai rapuh digerogoti waktu. "Ini jati diri kami," ujarnya lirih, seolah berbisik kepada zaman yang terus bergerak. Ia sedang merawat sesuatu yang kini mulai langka: rasa keterikatan pada akar, asal-usul, dan nilai-nilai purba yang membentuk identitas suatu kelompok. Di sinilah primordialisme menjejak.

Tetapi di kota-kota besar, kata "primordial" sering punya gaung yang berbeda. Ia kerap dipakai sebagai senjata tuduhan: sempit, kolot, atau bahkan diskriminatif. Seolah-olah mencintai kelompok sendiri adalah tanda kebodohan atau penghambat kemajuan. Padahal, tidak sesederhana itu.

Antara Warisan dan Ancaman

Primordialisme, dalam istilah ilmiahnya, merujuk pada sikap atau pandangan yang mengutamakan loyalitas terhadap identitas asal---baik itu suku, agama, ras, maupun tradisi budaya. Dalam batas-batas tertentu, sikap ini bisa menjadi kekuatan perekat. Dalam masyarakat yang tercerai-berai oleh globalisasi dan arus informasi, keterikatan primordial justru bisa menjadi jangkar bagi identitas kolektif. Ia menguatkan solidaritas, menumbuhkan rasa bangga, dan menyuburkan upaya pelestarian budaya.

"Primordialisme bisa menjadi fondasi identitas nasional, asal tidak jatuh pada sikap eksklusif," ujar Dr. Sri Yunita, dosen antropologi Universitas Indonesia, saat kami temui di ruang kerjanya yang penuh buku dan aroma kopi pahit.

Namun di sisi lain, jika rasa primordial ditarik terlalu tegang, ia bisa menjadi jurang pemisah. Sejarah bangsa ini mencatat bagaimana kekerasan berbasis identitas pernah mencabik persaudaraan. Dalam bentuk ekstrem, primordialisme dapat menumbuhkan benih kebencian, merasa lebih unggul karena "kami bukan kalian", dan membungkam suara-suara dari luar kelompoknya.

"Masalahnya bukan pada nilai primordialnya, tapi pada bagaimana ia digunakan dalam konteks politik atau kekuasaan," kata Prof. Haryono Gunawan, sosiolog politik dari UGM. Ia menyebutkan bahwa sikap primordial sering dieksploitasi oleh elit politik untuk kepentingan elektoral. "Politik identitas," katanya, "adalah wajah baru dari primordialisme yang kehilangan keanggunannya."

Primordialisme yang Bijak

Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, primordialisme bisa menjadi titik temu atau titik pisah. Dalam wujudnya yang sehat, ia adalah kebanggaan terhadap budaya sendiri, tetapi tetap memberi ruang bagi perbedaan. Ia bukan tembok, tapi jendela.

Primordialisme bisa menjadi rambu moral. Ketika masyarakat kehilangan orientasi, kembali pada nilai-nilai asal bisa menjadi cara untuk menemukan pegangan. Tapi ia harus disandingkan dengan nilai inklusivitas dan semangat zaman.

Seorang pemimpin adat di Toraja pernah berkata dalam sebuah pertemuan budaya: "Kami berdiri tegak karena kami tahu dari mana kami berasal. Tapi kami tidak menolak angin yang datang dari luar."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun