Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sugar Coating: "Ngono yo Ngono Ning Ojo Ngono"

10 Oktober 2025   22:15 Diperbarui: 12 Oktober 2025   14:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi atasan dengan karyawan di kantor. (Sumber: preefoto/ Freepik via kompas.com)

Pada masa kekuasaan monarki Eropa abad pertengahan, kaum bangsawan dan pejabat istana kerap menggunakan kata-kata manis dan pujian hiperbolik untuk mendapatkan tempat di hati raja atau ratu.

Dalam catatan Machiavelli, praktik ini tidak hanya dianggap wajar, tetapi juga esensial dalam permainan kekuasaan: "Orang yang ingin bertahan di istana harus tahu kapan harus berkata benar dan kapan harus menutupi kebenaran demi keselamatan diri" (Machiavelli, The Prince, 1532/1998).

Fenomena ini bahkan tampak dalam sejarah Tiongkok kuno, di mana para pejabat Dinasti Han dan Ming dikenal dengan praktik "basa-basi kekaisaran" (imperial flattery). Para pejabat istana menulis puisi dan surat yang memuji kaisar sebagai "bayangan langit di bumi."

Di zaman Yunani Kuno, orang-orang yang melakukan praktik semacam sugar coating disebut "sycophants". Sementara, di China, disebut dengan "xiehouyu". Kedua istilah itu merujuk pada maksud yang sama: pemujaan berlebihan kepada orang lain untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Menurut Fei Xiaotong (1947), ini adalah bentuk "ritual subordinasi," yaitu kebiasaan masyarakat agraris yang berakar pada hubungan patron-klien yang menuntut kesetiaan simbolik melalui kata-kata lembut.

Antara Budaya dan Kekuasaan: Sugar Coating dalam Struktur Sosial Modern

Ilustrasi.(Foto: Linkedin.com)
Ilustrasi.(Foto: Linkedin.com)

Dalam perspektif sosiologi modern, sugar coating bukan sekadar perilaku individu, melainkan mekanisme sosial yang melestarikan hierarki.

Pierre Bourdieu (1977) menjelaskan fenomena ini sebagai bagian dari habitus dan symbolic capital--yakni cara-cara halus untuk mempertahankan posisi dominan melalui pengakuan sosial.

Di tempat kerja, orang yang pandai "berbasa-basi" dengan atasan sering kali mendapat keistimewaan tertentu, meskipun kompetensi profesionalnya tidak selalu menonjol.

Praktik ini kemudian menjadi bagian dari "ritual kantor"--sistem yang tidak tertulis namun menentukan siapa yang "aman secara politik" di organisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun