Pep Guardiola pernah bilang, "History belongs to those who dare to change it." Sejarah dalah milik mereka yang berani mengubahnya.
Jika sejarah memang ditulis oleh yang berani, maka saya ingin menjadi bagian dari bab berikutnya--bukan sebagai pemain, mungkin sebagai Ketua Umum PSSI yang (akhirnya) tidak perlu teriak-teriak di pinggir lapangan untuk didengar.
Dari Pinggir Lapangan ke Kursi Ketua Umum
Menjadi Ketua Umum PSSI setelah Indonesia lolos Piala Dunia bukanlah ide gila--itu evolusi logis. Dari seorang supporter 'garis keras' menjadi pemimpin organisasi. Mungkin terdengar lucu, tapi jangan sepelekan kemampuan saya, gaes...
Saya tahu bagaimana pemain muda kehilangan arah karena sistem pembinaan yang "offside" sejak akademi. Saya juga tahu ada persoalan tata kelola organisasi yang kurang optimal.
Kalau Jurgen Klopp bisa membawa semangat "heavy metal football", saya ingin membawa "heavy reform football": sistem pelatihan berbasis sains, scouting yang berbasis data, dan kompetisi yang bukan sekadar tontonan, tapi ekosistem pembelajaran bagi pemain dan pelatih.
Seperti kata Sir Alex Ferguson, "Football is a strange business: you can win everything and still need to start again next season."
Begitu pula PSSI--meskipun lolos ke Piala Dunia, pekerjaan rumahnya tidak berhenti di Qatar, Amerika, atau Kanada. Justru itu awal dari pekerjaan serius membangun ekosistem sepak bola yang berkelanjutan.
Menjadi Ketua Umum PSSI: Antara Canda dan Cita-Cita
Saya tahu, banyak yang akan bilang: "Ah, semua orang bisa ngomong begitu kalau Timnas menang." Benar. Tapi saya ingin jadi orang yang tidak hanya ngomong, tapi siap turun dari tribun ke meja rapat.
Bayangkan saja, kalau pelatih bisa diminta pressing tinggi, kenapa PSSI tidak bisa diminta transparansi tinggi? Kalau bek tengah bisa main build-up dari belakang, kenapa pengurus tidak bisa membangun kepercayaan dari dasar?