Indonesia sedang berada dalam musim yang ganjil: ekonomi menuntut kepastian, masyarakat menuntut keadilan, sementara sejumlah pejabat publik justru mempertontonkan defisit sensitivitas.
Dalam beberapa hari terakhir, spiral ketidakpekaan ini menjadi tontonan terbuka: gelombang protes besar di Pati yang menuntut Bupati Sudewo mundur; polemik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang siapa yang seharusnya menanggung gaji guru dan dosen..
Belum berhenti sampai di situ, klarifikasi--disertai permintaan maaf--Menteri ATR/BPN Nusron Wahid setelah gurauan tentang "tanah milik negara" memantik kemarahan publik.
Ketiganya bukan peristiwa terpisah, melainkan gejala struktural: renggangnya jarak etis antara penguasa dan warga.
Saya, mungkin satu dari jutaan warga yang masih percaya bahwa negeri ini akan menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Saldo harapan saya kepada negeri ini tidak pernah berkurang, atau setidaknya masih tetap terjaga, meski begitu banyak realitas sosial yang membuat hati ini menjadi bertanya-tanya: Apakah presiden sudah menyimpang dari cita-cita awalnya? Atau ini hanya sekadar 'ulah' para pembantunya?
Pada akhirnya, saya hanya bisa menulis.
Ketika kata-kata memantik krisis legitimasi
Di Kabupaten Pati, demonstrasi yang memuncak pada Rabu, 13 Agustus 2025, dipicu kombinasi kebijakan dan komunikasi yang buruk: lonjakan PBB-P2 hingga 250% disertai pernyataan bupati yang dinilai menantang warga untuk berdemo.
Meski kemudian ada pembatalan penyesuaian PBB dan permintaan maaf, amarah warga telanjur membesar dan aksi tetap berjalan; aparat memastikan tak ada korban jiwa, tetapi kerusakan kepercayaan sudah terjadi.