Pada Sabtu malam, 12 Juli 2025, di bawah sorotan lampu yang menyinari Pelataran Arca Museum Nasional Indonesia, saya menyaksikan sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan seni.
Saya hadir dalam Panggung Maestro ke-8, sebuah inisiatif penting dari Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bersama Museum Nasional dan Yayasan Bali Purnati untuk merawat para maestro, penjaga terakhir memori kolektif bangsa.
Acara ini mengangkat tema "Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan", menampilkan tari, tutur, musik, rasa, dan gerak dari berbagai penjuru Nusantara.
Dari Aceh, Kalimantan Timur, hingga Madura, para maestro hadir bukan hanya untuk menunjukkan keterampilan, melainkan menghadirkan nilai, filosofi, dan ketekunan lintas generasi.
Salah satu momen paling magis malam itu adalah ketika Frans Jiu Luay, maestro Tari Hudoq dari Kalimantan Timur, naik ke panggung bersama kelompoknya.
Mengenakan busana dari daun pisang kering dan topeng kayu khas Dayak Bahau, ia tak hanya menari---ia menjadi medium spiritual yang menghubungkan alam, leluhur, dan manusia.
Cukup banyak maestro yang tampil malam itu. Namun, kali ini saya ingin sedikit menceritakan Tari Hudoq. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakan maestro lainnya.
Tari Hudoq: Gerak Mistis Penjaga Panen
Tari Hudoq merupakan warisan budaya tak benda dari Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak Bahau dan Modang.