Kegiatan keagamaan, partisipasi komunitas, dan solidaritas sosial dianggap menjadi "penyeimbang" kekurangan material.
Studi-studi psikologi positif memang menegaskan bahwa makna hidup, relasi sosial, dan kebajikan memberi kontribusi besar pada well-being, bahkan kadang lebih dari pendapatan.
Namun, dari perspektif ekonomi pembangunan, kesejahteraan sejati (well-being) idealnya bersifat multidimensi: tidak hanya sosial-psikologis, tapi juga ekonomi, kesehatan, dan kebebasan.
Amartya Sen dalam teori Capability Approach menekankan pentingnya "kesempatan nyata" (real freedoms) bagi individu untuk hidup layak-bukan sekadar merasa bahagia atau puas.
Jika masyarakat merasa bahagia namun tetap terjebak dalam kemiskinan struktural, ada risiko "adaptasi kebahagiaan" (happy peasant paradox), di mana masyarakat menyesuaikan ekspektasi mereka pada keterbatasan yang ada.
Kritik Metodologis: Apakah Survei GFS Cukup Representatif?
- Self-reporting Bias: Survei GFS mengandalkan jawaban subjektif responden. Dalam masyarakat dengan budaya kolektivisme tinggi seperti Indonesia, ada kecenderungan untuk melaporkan kepuasan hidup secara "modest" atau bahkan "overly positive" demi menjaga harmoni sosial.
- Neglecting Structural Issues: Indeks flourishing bisa menutupi masalah struktural seperti pengangguran, kemiskinan, dan akses layanan dasar. Kebahagiaan subjektif tidak selalu merefleksikan kualitas hidup objektif.
- Cross-cultural Validity: Skala dan pemahaman tentang "makna hidup" atau "kesejahteraan" bisa sangat berbeda antar budaya, sehingga membandingkan skor antarnegara menjadi problematis secara ilmiah.
Penelitian flourishing seperti GFS sering terjebak dalam western-centric framework yang mengukur kesejahteraan berdasarkan parameter individualistik (Veenhoven, 2010).
Padahal, di negara berkembang seperti Indonesia, akses terhadap pekerjaan layak, pendidikan berkualitas, dan infrastruktur kesehatan justru lebih krusial.
Penutup: Kesejahteraan Bukan Sekadar Skor
Penobatan Indonesia sebagai negara paling sejahtera patut diapresiasi dari sisi kekuatan sosial dan budaya.
Namun, klaim ini harus dibaca secara kritis: kesejahteraan sejati membutuhkan sinergi antara makna hidup, relasi sosial, dan kemajuan ekonomi yang inklusif.