Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Indonesia "Paling Sejahtera di Dunia"? Ironi di Balik Skor Global Flourishing Study

13 Mei 2025   17:45 Diperbarui: 13 Mei 2025   18:06 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Indonesia. Indonesia menargetkan jadi negara maju pada 2045. (Foto: SHUTTERSTOCK via Kompas.com)

Kegiatan keagamaan, partisipasi komunitas, dan solidaritas sosial dianggap menjadi "penyeimbang" kekurangan material.

Studi-studi psikologi positif memang menegaskan bahwa makna hidup, relasi sosial, dan kebajikan memberi kontribusi besar pada well-being, bahkan kadang lebih dari pendapatan.

Namun, dari perspektif ekonomi pembangunan, kesejahteraan sejati (well-being) idealnya bersifat multidimensi: tidak hanya sosial-psikologis, tapi juga ekonomi, kesehatan, dan kebebasan.

Amartya Sen dalam teori Capability Approach menekankan pentingnya "kesempatan nyata" (real freedoms) bagi individu untuk hidup layak-bukan sekadar merasa bahagia atau puas.

Jika masyarakat merasa bahagia namun tetap terjebak dalam kemiskinan struktural, ada risiko "adaptasi kebahagiaan" (happy peasant paradox), di mana masyarakat menyesuaikan ekspektasi mereka pada keterbatasan yang ada.

Kritik Metodologis: Apakah Survei GFS Cukup Representatif?

  • Self-reporting Bias: Survei GFS mengandalkan jawaban subjektif responden. Dalam masyarakat dengan budaya kolektivisme tinggi seperti Indonesia, ada kecenderungan untuk melaporkan kepuasan hidup secara "modest" atau bahkan "overly positive" demi menjaga harmoni sosial.
  • Neglecting Structural Issues: Indeks flourishing bisa menutupi masalah struktural seperti pengangguran, kemiskinan, dan akses layanan dasar. Kebahagiaan subjektif tidak selalu merefleksikan kualitas hidup objektif.
  • Cross-cultural Validity: Skala dan pemahaman tentang "makna hidup" atau "kesejahteraan" bisa sangat berbeda antar budaya, sehingga membandingkan skor antarnegara menjadi problematis secara ilmiah.

Penelitian flourishing seperti GFS sering terjebak dalam western-centric framework yang mengukur kesejahteraan berdasarkan parameter individualistik (Veenhoven, 2010).

Padahal, di negara berkembang seperti Indonesia, akses terhadap pekerjaan layak, pendidikan berkualitas, dan infrastruktur kesehatan justru lebih krusial.

Penutup: Kesejahteraan Bukan Sekadar Skor

Penobatan Indonesia sebagai negara paling sejahtera patut diapresiasi dari sisi kekuatan sosial dan budaya.

Namun, klaim ini harus dibaca secara kritis: kesejahteraan sejati membutuhkan sinergi antara makna hidup, relasi sosial, dan kemajuan ekonomi yang inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun