Dengan karakter akomodatifnya, Prabowo sebagai presiden tentu ingin memperkuat pemerintahannya saat ini di tengah-tengah perseteruan antara Megawati dengan Jokowi.
Legitimasi dukungan PDIP dan Megawati sebagai Ketua Umum bisa memainkan peran strategis dalam menjaga stabilitas pemerintahan Prabowo di masa depan.
Teori perubahan politik juga relevan untuk melihat dinamika ini. Pertemuan tersebut dapat dipahami sebagai langkah adaptif dalam menghadapi kondisi ekonomi-politik yang dinamis.
Dengan menggabungkan kekuatan dua partai besar, arah kebijakan pemerintah berpotensi lebih terkonsolidasi, terutama dalam menghadapi tantangan seperti reformasi ekonomi atau revisi undang-undang strategis.
Momen Emosional: Silaturahmi Bukan Sekadar Basa-Basi
Kita jangan lupa konteksnya: ini masa Lebaran. Momentum yang secara kultural membuka ruang untuk maaf-maafan, meski latar belakangnya politik.
Politik Indonesia itu unik: identitas, budaya, dan agama semua berkelindan. Jadi, silaturahmi antar elite bukan basa-basi doang, tapi juga bentuk dari rekonsiliasi emosional.
Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) menyebut pentingnya civic culture--di mana elite politik menunjukkan sikap mutual respect demi kestabilan politik.
Nah, momen pertemuan Prabowo-Megawati ini adalah contoh konkret dari praktik civic culture ala Indonesia.
Perlu diingat juga, dalam teori hegemoninya Gramsci, dominasi itu bukan cuma soal siapa yang pegang kekuasaan, tapi siapa yang bisa bikin narasi.
Pertemuan ini jadi semacam "narasi damai"--bahwa meski politik nasional sedang panas, elite tetap bisa satu meja. Dan itu bikin rakyat (setidaknya sebagian) bisa tarik napas lega.