Akibatnya, Ramadan yang seharusnya menjadi bulan untuk memperkuat solidaritas sosial, justru menjadi bulan di mana kesenjangan ekonomi semakin terasa.
Konsumerisme Ramadan: Sebuah Kontradiksi Spiritual
Konsumerisme yang diperkenalkan melalui berbagai saluran media dan iklan, membentuk pandangan dunia yang menyatakan bahwa kebahagiaan dan identitas seseorang terletak pada kepemilikan barang dan status sosial yang terkait dengannya.
Ideologi ini mengarah pada pembentukan pola pikir bahwa "kebahagiaan" dan "kesuksesan" seseorang dapat diukur dengan materi, termasuk pakaian dan kendaraan baru.
Dalam konteks Ramadan, di mana umat Muslim diharapkan untuk menahan hawa nafsu, mengendalikan keinginan, dan memperbanyak ibadah, kebiasaan berbelanja sebelum hari raya justru mereduksi esensi dari bulan suci tersebut.
Data dari Bank Indonesia (2022) menunjukkan bahwa menjelang Lebaran, terjadi peningkatan signifikan dalam belanja konsumen, terutama untuk pakaian, makanan, dan barang-barang elektronik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah-daerah pedesaan.
Kebiasaan belanja secara berlebihan sebelum Lebaran ini dapat dilihat sebagai bentuk kontradiksi spiritual. Umat Islam berpuasa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi di sisi lain, mereka terjebak dalam lingkaran konsumsi yang terus berulang.
Menurut Marx, kapitalisme menciptakan "fetisisme komoditas", di mana nilai suatu barang tidak lagi ditentukan oleh kegunaannya, tetapi oleh nilai tukarnya dalam pasar.
Dalam konteks Ramadan, fetisisme ini terlihat jelas ketika barang-barang seperti pakaian baru, gadget baru, dan mobil baru menjadi simbol status sosial, bukan kebutuhan riil.
Konsumsi berlebihan ini seringkali mengakibatkan utang yang menumpuk. OJK menunjukkan bahwa menjelang Lebaran, terjadi peningkatan permohonan kredit konsumen, termasuk kredit tanpa agunan yang memiliki bunga tinggi.Â