Pertanyaan tentang kebangkitan dan kemajuan terus menjadi fokus utama para pemikir Muslim sejak munculnya kesadaran intelektual di dunia Islam. Pertanyaan sentral yang selalu muncul adalah: Bagaimana kita dapat bangkit? Dan bagaimana kita dapat mengembalikan peran peradaban kita di tengah dunia yang terus berubah ini?
Beragam jawaban telah dikemukakan oleh para pemikir. Ada yang menekankan pentingnya pembebasan dari ketergantungan ekonomi terhadap Barat, ada pula yang menyerukan dekonstruksi terhadap struktur tradisional masyarakat. Namun demikian, faktor agama tetap menjadi unsur inti dalam dinamika intelektual ini. Seruan untuk membuka kembali pintu ijtihad dan membebaskan penafsiran Al-Qur'an dari dominasi bacaan klasik semakin menguat, didasari oleh keyakinan bahwa generasi baru memiliki hak untuk menafsirkan teks suci sesuai dengan konteks zaman mereka.
Banyak cendekiawan dan penulis kontemporer memilih untuk menggunakan istilah seperti tajdid (pembaharuan), ijtihad, dan ishlah (reformasi) dalam pemikiran mereka, berlandaskan pada hadits Rasulullah SAW:
"Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini di awal setiap seratus tahun seorang yang memperbaharui agamanya."
Sejak pertengahan abad ke-20, karya-karya ilmiah, seminar, dan lembaga-lembaga pemikiran yang mengangkat isu pembaharuan syariah mengalami peningkatan yang signifikan. Terlebih lagi, dengan kehadiran media satelit dan internet, ruang keagamaan kini menjadi bagian dari konsumsi publik harian, melalui fatwa-fatwa baru dan para mujtahid kontemporer.
Dalam konteks ini, bidang muamalah menjadi medan utama pembaharuan fiqih, mengingat kompleksitas realitas sosial-ekonomi dan kebutuhan akan hukum-hukum baru yang relevan dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Perubahan situasi politik, sosial, dan ekonomi juga menyebabkan tidak diterapkannya beberapa hukum syariah klasik, seperti hukum perbudakan (riqb), jizyah, dan sistem khilfah. Bahkan, praktik rib telah menjadi bagian integral dari sistem ekonomi global, sementara nilai-nilai hak asasi manusia telah diakui sebagai norma universal. Kondisi ini mendorong para pemikir Muslim untuk melakukan re-evaluasi terhadap berbagai peraturan syariah, khususnya dalam konteks ayat-ayat ahkam.
Dalam arus pembaharuan ini, muncul beberapa pendekatan utama:
1. Kembali kepada Al-Qur'an sebagai sumber legislasi utama
Salah satu arus pemikiran menekankan bahwa Al-Qur'an adalah sumber hukum utama yang bersifat mutlak, sedangkan hadits, walau penting, tidak memiliki tingkat otoritas yang sama, terutama mengingat proses kodifikasinya yang terjadi dua abad setelah wafatnya Nabi. Oleh karena itu, segala hukum fiqh yang tidak memiliki landasan eksplisit dalam Al-Qur'an dipertanyakan validitasnya --- seperti hukum qatl al-murtadd (hukuman mati bagi yang murtad), yang meskipun didukung oleh hadits, tidak ditemukan dalam Al-Qur'an.
2. Rekonstruksi Konsep Naskh (Penghapusan Hukum)
Konsep klasik naskh, yaitu penghapusan hukum lama oleh hukum baru, seringkali digunakan untuk meniadakan puluhan ayat Al-Qur'an yang mengandung nilai kasih sayang, toleransi, dan dialog, dengan merujuk pada apa yang dikenal sebagai "Ayat al-Saif" (Ayat Pedang). Namun, pemikir seperti Mahmud Muhammad Taha dari Sudan, memperkenalkan pendekatan berbeda. Ia melihat bahwa ayat-ayat Makkiyah yang menekankan pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kemanusiaan adalah inti dari "risalah ats-tsniyah" (risalah kedua Islam), yang lebih relevan untuk konteks modern.
Dalam pandangan para pembaharu, teks Al-Qur'an bukanlah entitas beku, melainkan makhluk hidup yang dinamis, yang mampu berinteraksi dengan perkembangan zaman dan realitas sosial, tanpa kehilangan esensi wahyunya. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengubah agama, melainkan untuk menggali kembali roh syariah yang sejati melalui maqid al-syar'ah (tujuan-tujuan hukum Islam) dan prinsip-prinsip kemanusiaannya.
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa pembaharuan dalam pemikiran Islam bukanlah pemutusan dari warisan keilmuan umat, melainkan kelanjutan darinya dalam bentuk yang lebih kontekstual. Legislasi Islam, sebagai wujud praktis dari nilai-nilai Al-Qur'an, membutuhkan pembacaan ulang yang kritis: menjaga fondasinya, namun fleksibel dalam menghadapi variabel-variabel zaman.