Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Historical Tersembunyi Saung Ranggon dan Sinyal SOS dari Taman Buaya

3 Maret 2023   16:31 Diperbarui: 3 Maret 2023   20:51 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saung Ranggon dan Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)

 

Traveling menggunakan Commuterline/ KRL itu menyenangkan sekaligus ekonomis. Menjelajahi destinasi wisata di kawasan  Jabodetabek termudahkan oleh akses KRL. Seperti wisata ke Cikarang, melalui stasiun paling ujung timur, Stasiun Cikarang. Stasiun ini yang terdekat dengan lokasi wisata budaya Saung Ranggon dan sebuah taman buaya di Cikarang. Dua lokasi wisata tersembunyi yang menarik dan perlu perhatian. 

Hi Clicker, dan teman-teman pengguna Commuterline/ KRL Jabodetabek, khususnya, kali ini aku mau cerita perjalanan wisata menggunakan KRL ke kawasan Cikarang, Jawa Barat.

Cerita wisata bareng teman-teman #clicker Commuterline Community - CLICK Kompasaiana pada Sabtu 25 Februari 2023 lalu, bertajuk "Jelajah CLICK: Mengunjungi Saung Ranggon dan Taman Buaya di Cikarang".

Ada 2 destinasi yang kami kunjungi di kawasan Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Aku belum pernah mampir ke tempat dua lokasi ini. Satu lokasi cagar budaya yang berumur ratusan tahun dan satu lagi sebuah taman rekreasi yang dihuni ratusan buaya besar.

Kedua lokasi itu dekat dengan Jakarta loor. Mudah dijangkau. Secara aksesnya gampang. Bisa menggunakan panduan  google map.


Bagiku pribadi, masing-masing lokasi memberikan kesan tersendiri.  Mengenal nilai historis sebuah cagar budaya dan tempat rekreasi yang bisa sekaligus dioptimalkan sebagai lahan edukasi. Antara kebanggaan dan keprihatinan.  Kenapa? Simak aja ceritaku di bawah ya.   

Sebelum lanjut membaca, boleh tonton video perjalanannya yang kubikin ini. Biar ada gambaran lokasinya. Aku posting di tulisan ini ya " [VIDEO] Jelajah CLICK ke Saung Ranggon dan Taman Buaya Indonesia Jaya".

Atau tonton di youtube di bawah ini. 


 Jelajah Stasiun ke Ujung Timur

Cerita kumulai dari Stasiun Cilebut Bogor. Sebuah stasiun persis satu deretan dengan stasiun paling ujung, Stasiun Bogor. Dua stasiun ini yang terdekat dari rumahku.

Aku memilih Stasiun Cilebut karena jalur jalannya relatif lega dibandung rute ke Stasiun Bogor yang jalanannya lebih ramai. Berangkat pagi sebelum jam 07.00 wib pada hari weekend tak sepadat di hari kerja. Jadi gak terlalu urgen berangkat dari Stasiun Bogor untuk menghindari berdesakan penumpang.

Lagian jalan masuk tap in di Stasiun Bogor lebih jauh  ke dalam dari parkiran kendaraan. Kalau di Stasiun Cilebut, tap in dekat parkiran. Malas jalan ceritanya hahaha.

Sengaja kali ini menggunakan aplikasi untuk beli tiketnya. Tidak seperti bianaya, aku menggunakan kartu multitrip ataupun e-money. Mau sekalian cek tarifnya.

Tarif dari Stasiun Cilebut sampai Stasiun Cikarang cuma Rp 8000,- sekali jalan.  Murah banget kan? Secara ke Cikarang dari Bogor jauuuh coy.

Sisi ekonomis itu yang menjadi salah satu pertimbanganku, dan sepertinya juga bagi  banyak orang. KRL Jabodetabek yang menjangkau kawasan penyangga dan Jakarta, memudahkan sebagai sarana transportasi pilhan.

Aku sudah merasakan manfaat KRL ini menjangkau wilayah Banten, yakni stasiun ujung, Stasiun Rangkas Bitung saat ke Baduy Ciboleger.  Tarif dari Stasiun Bogor hanya Rp. 12.000,- Tarif yang sangat ekonomis. Nyaman pula di dalam kereta, bebas macet. Waktu pun bisa terestimasi.

Kembali ke cerita perjalanan ke Cikarang. Aku harus berganti moda KRL di stasiun transit, Stasiun Manggarai. Jarum jam tanganku menunjuk di angka 08.35 WIB saat aku di jalur 8 Stasiun Manggarai, jalur ke arah Stasiun Jatinegara, Bekasi dan Cikarang.

Sudah ada clicker yang berkumpul di mepo jalur 8. Ada Pak Sutiono, Hida, Denik. Teman-teman lain datang menyusul satu-satu. Sementara teman lain, Pak Taufik, Sonta dan Topik yang rumahnya tidak melewati Stasiun Manggarai, berangkat duluan, menunggu di Stasiun Cikarang.

Sekitar satu jam perjalanan, sampai Stasiun Cikarang. Ini kali kedua aku mampir stasiun paling ujung timur ini. Cuma yang pertama, aku tidak keluar stasiun. Hanya sampai di dalam stasiun saja, langsung putar balik. Hanya antar keponakan yang mau ke tempat temannya di Cikarang.

Perjalanan lanjut carter angkot menuju destinasi wisata yang pertama, Cagar Budaya Saung Ranggon. Cukuplah satu angkot untuk satu rombongan, 12 orang.

Perjalanan kuhitung sekitar 50 menit. Walau di google map hanya 36 menit. Maklum jalanan lumayan rame. Beberapa titik macet. Lagian kontur jalan ada yang kurang bagus aspalnya. Jadi yaa, lumayan bikin badan terguncang-gucang hehee.

Lanjut kuceitain satu-satu ya.

1. Saung Ranggon

Bangunan Tua, Berumur 500 Tahun 

Lewat tengah hari sampai di sebuah bangunan kayu. Rumah panggung. Inilah Saung Ranggon. Lokasinya agak ngumpet di Kampung Cikedokan, Desa Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat.

Saung Ranggon ini bukan nama warung makan Sunda lor, meski sebelahnya ada warung makan. Hehehe.  Ada papan nama besar bertuliskan Saung Ranggon.

Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)
Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)

Suasana sepi. Nampaknya hanya rombongan kami, yang datang hari itu, Sabtu 25 Februari 2023. Minimal itu yang kulihat saat angkot pengantar kami, parkir di halaman depan lokasi.

Area Saung Ranggon bernuansa teduh. Banyak pepohonan tinggi. Dibatasi oleh pagar tembok berkeliling. Tinggi  tembok sekitar semeter. Ada pintu untuk masuk ke halaman Saung Ranggon.

Ada bangunan rumah biasa di luar pagar. Rumah itulah tempat tinggal keluarga sang juru kunci atau kuncen. Ada juga mushola, warung makan dan toilet.

Saung Ranggon dirawat secara turun temurun oleh keturunan dari Raden Abbas.  Raden Abbas konon, dikenal sebagai penemu Saung Ranggon lalu merawatnya.  

Sekarang  sebagai  kuncen Saung Ranggon adalah Ibu Sri Mulyati yang mengaku keturunan keenam dari Raden Abbas.  Ibu Sri ini yang mengantar dan memandu kami saat di Saung Ranggon.

Bentuk Saung Ranggon adalah rumah panggung. Mengutip beberapa sumber, luas  bangunan saung  7,6 meter x 7,2 meter. Halaman luas. Berlantai conblock. Kulihat bersih, sepertinya sering disapu, dibersihkan. Dirawat. Aku pikir pasti banyak sampah dedauanan kering dari pepohonan rindang sekitarnya.

Rumah panggung Saung Ranggon ini berpenyangga tiang-tiang balok kayu. Berbentuk persegi. Warna coklat kayu kehitaman gelap. Nampak kokoh menopang saung. Konon, untuk menghubungkan antar kayu tidak menggunakan paku, tapi pasak. Soalnya kayunya berbahan kayu ulin yang keras.

Tinggi saung lebih tinggi dari tinggi badanku. Kuperkirakan sekitar 2 meteran lebih. Ada 7 buah anak tangga yang menghubungkan ke pintu rumah. Konon angka 7 melambangkan jumlah hari dalam sepekan.

Anak tangga di Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)
Anak tangga di Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)

Kepala harus menunduk saat melewati pintu. Jika tidak, bisa terantuk kusen pintu saung.

Bagian dalam, ruangan terbuka. Agak gelap. Remang-remang. Diterangi 1 lampu, yang terletak di atas. Sekilas terasa nuansa mistis.  Nuansa khas bangunan tua di tanah air. Aku bayangin, merinding juga kalau menginap di sini.

Lantai saung beralas karpet, yang menutupi semua ruangan. Mungkin ini sebabnya, alas kaki harus dilepas, saat masuk ke dalam saung.

Ada tulisan peringatan larangan merokok di salah satu dinding kayu dalam rumah. Tentu saja, membahayakan, mengingat bangunan saung berbahan kayu berlantai karpet.

Secara keseluruhan, saung ini lekat dengan nuansa bangunan tua. Bentuk  rumah tradisional yang kental kisah bersejarah. Konon dipercaya merupakan bangunan tertua di Bekasi.

Bagian dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)
Bagian dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)

Mengulik dari beragam sumber, sejarah didirikannya Saung Ranggon bermula pada abad ke 16. Konon pendiri pertamanya adalah Pangeran Rangga, putra dari Pangeran Jayakarta, seorang tokoh pejuang Betawi pada masa penjajahan Belanda.

Sejarah itu nyambung dengan penuturan Ibu Sri. Menurut sejarah yang diketahuinya, Saung Ranggon ditemukan  kira-kira pada abad-16.  Namun kemudian terbengkalai, setelah para pendirinya wafat.  Ratusan tahun kemudian, sekitar tahun 1821 ditemukan kembali oleh Raden Abbas seorang pejuang Kerajaan Mataram. Lalu tempat itu ditinggali dan dirawat Raden Abbas. Berlanjut secara turun temurun hingga saat ini.

Nah Raden Abbas pula yang dianggap sebagai pemrakarsa nama Saung Ranggon yang dulunya disebut sebagai rumah tinggi.

Hebat ya, usia 500 tahun masih ada. Aku tidak tahu persis, apa Saung Ranggon pernah di cat  ya, namun yang jelas, saung  yang terbuat dari kayu ulin yang terkenal sebagai kayu besi yang awet itu, belum pernah diganti. Luar biasa ya.

Bareng kuncen  Ibu Sri Mulyati di ruang dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)
Bareng kuncen  Ibu Sri Mulyati di ruang dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)

Antara Historical dan Keramat

Karakteristik bangunan tua, biasanya lekat dengan cerita spiritual, supranatural, horror, sampai hal-hal klenik. Begitu pula Saung Ranggon yang lekat diselimuti kisah mistis. Tak heran, lokasi ini dikeramatkan bagi sebagian besar orang yang mempercayainya.

Cerita horor, dari teman rombongan Clicker ada yang mengaku melihat sosok orang tua di samping Ibu Sri saat kami ngobrol di dalam saung.

Cerita-cerita "horor" lain meluncur dari penuturan Ibu Sri, selama menjadi juru kunci Saung Ranggon, menyiratkan nuansa mistis itu.  Aku penasaran, lalu  surfing internet "browsing" mencari info kisah-kisah misterius itu.

Di dalam saung, ada satu ruangan yang disekat kain. Semacam tirai. Di dalam "kamar" itu ternyata disimpan benda-benda pusaka.  Ada keris, bendo, batu, dan lain-lain. Menurut Ibu Sri, jumlahnya sekitar 25 buah benda pusaka. Benda-benda itu dipercaya memiliki kekuatan magis.

Terkait benda-benda pusaka ini, menurut Ibu Sri ada tradisi yang wajib dilakukan, yakni mencuci seluruh pusaka diberikan wewangian  pada saat   Maulid Nabi atau 1 suro. Kalau di Jawa, aku mengenalnya dengan istilah "jamasan pusaka". Seperti laik dilakukan di Kraton Surakarta.

Disamping itu, menurut Ibu Sri  juga diharuskan menggelar ritual seni tradisional, seperti Tari Jaipong. Jika tidak dilakukan, maka akan ada yang terkena masalah.

Ruang pusaka di dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)
Ruang pusaka di dalam Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dokpri)

Selain benda pusaka, ada juga telur, yang aku bilang "ajaib". Ajaib karena memuat cerita mistis tersendiri.

Tentang telur ini, ada cerita menarik yang kutemukan hasil dari browsing internet.  Jadi konon ada aki-aki [kakek-kakek] dulu ke Saung Ranggon membawa ayam. Ayamnya itu bertelur. Sering tiap sebulan sekali keluar darah. Sekarang telurnya mengeras seperti batu.

"Telurnya hanya bisa dilihat di waktu-waktu tertentu," ungkap Ibu Sri.

Selain benda pusaka dan telur, dalam ruangan juga ada lukisan Nyai Roro Kidul, Walisongo dan Presiden RI pertama, Soekarno.  

Dulunya, Saung Ranggon selain digunakan untuk tempat penyimpanan rempah-rempah, juga menjadi tempat persinggahan di masanya. Konon tempat ini disebut-sebut pernah disinggahi Prabu Siliwangi. Tempat ini juga dipercaya menjadi persinggahan para walisongo untuk berkumpul musyawarah. Kabarnya Guntur, anak presiden Soekarno pernah singgah ke sini.

"Dulu ini jadi tempat ngumpul para wali," kata Ibu Sri, yang memiliki 2 cicit ini pada romcongan clicker, Sabtu (25/2/2023).

Belakangan saung yang masuk cagar budaya ini, menadi tempat orang "ngalap berkah" atau "minta berkah". Tak jarang orang menginap dengan maksud meminta atau memohon sesuatu seperti, enteng jodoh, rezeki, naik pangkat dan hal-hal klenik lainnya. Tentu semua proesesinya, harus melalui "perantaraan" sang kuncen.

Ibu Sri menuturkan bahwa orang tak bisa sembarangan masuk ke area Saung Ranggon, harus izin kepada kuncen. Saat berada di lokasi juga harus menjaga adab. Jika tidak, bisa terjadi hal-hal yang tak diinginkan, seperti kesurupan atau terkena masalah lainnya.

Cerita lain, kabarnya ada juga  sebuah sumur tua di dekat saung. Sayangnya aku gak sempat lihat sumur yang konon usianya se-tua  Saung Ranggon itu.

Tak jauh dari saung sekitar berjarak 1 km, ada makam Raden Abbas dan keturunannya. Sayang kami tidak sempat  mampir ziarah ke sana. 

Cagar Budaya, yang Butuh Perhatian

Di bagian depan di luar pagar area Saung Ranggon dipasang sebuah plang, bertuliskan, "Saung Rangon".

Sekilas aku baca informasinya tentang saung itu. Ternyata Saung Ranggon sudah  berada di bawah kewenangan Balai Pengelolaan Kepurbakalaan, Sejarah dan Nilai Tradisional Dibudpar Provinsi Jawa Barat.

Artinya, destinasi wisata Saung Ranggon sudah masuk dalam kategori Bangunan Cagar Budaya. Selanjutnya sebagai cagar budaya, Saung Ranggon penting untuk dilestarikan. Mengingat destinasi yang masuk cagar budaya berarti memuat identitas lokal dan kekayaan budaya nasional. Artinya memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Terlebih lagi, destinasi cagar budaya bisa meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. Contohnya dengan bergeraknya usaha kecil seperti warung makan.

Seperti halnya Saung Ranggon, dengan budaya  sebagai rumah tertua yang menyimpan nilai sejarah. Mulai dari tempat persinggahan para tokoh nasional dan para wali, makam Raden Abbas, sumur tua, benda-benda pusaka peninggalan bersejarah.

Namun sayangnya, sepertinya, Saung Ranggon sebagai cagar budaya yang bernilai sejarah, butuh perhatian lebih.  Nampak dari pengunjung, relatif sepi. Itu yang kulihat saat kami berkunjung padahal di momen liburan akhir pekan. Ada warung makan yang sepi pembeli. Sentuhan kreativitas sebagai destinasi wisata budaya harus dipikirkan agar lokasi Saung Ranggon makin mampu menyedot perhatian pengunjung.

Untuk masuk ke Saung Ranggon, bebas, tidak ada tarif tiket ataupun tarif parkir kendaraan. Saran aja, untuk memberi imbalan seikhlasnya kepada kuncen. Itung-itung sebagai ucapan terima kasih sekaligus bantu-bantu untuk dana operasional, seperti membayar tagihan listrik. Terlihat kecil, tapi pastinya cukup berarti.

Untuk tahu saja, menurut pengakuan Ibu Sri, sebagai kuncen, dana perawatan cagar budaya Saung Ranggon sudah sekian lama tidak "turun" atau tidak cair. Padahal di satu sisi, ada biaya operasional yang harus dikeluarkan, seperti listrik, maupun jasa kebersihan, perawatan Saung Ranggon dan sarana pendukung lainnya seperti toilet dan mushola.

Beruntung, ada saja pengunjung yang mengaku  "berhasil" melakukan "ngalap berkah" di Saung Ranggon, memberikan bantuan. Sukarela.

Semoga saja tulisan ini, sampai ke orang-orang yang berwewenang dan teman-teman yang suka wisata budaya ya. Agar bisa turut mempopulerkan.  

Foto di Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dok Click)
Foto di Saung Ranggon di Cikarang Barat. (Dok Click)

2. Taman Buaya Indonesia Jaya

Belum puas sebenarnya mengeksplor Saung Ranggon, namun waktu membuat kami harus berangkat ke destinasi kedua yaitu Taman Buaya Indonesia Jaya. Lokasinya ada di Desa Sukaragam Jalan Raya Serang-Cibarusah KM 3 Bekasi, Jawa Barat.

Aku baru kali pertama datang ke lokasi ini, padahal lokasi ini sudah lama. Namun sepertinya kurang populer.  Dulu aku pernah lihat penangkaran buaya di Subang, namun buayanya tidak sebanyak di taman ini. Menurutku seeh  taman buaya ini bukan taman buaya biasa. Beda dengan buaya di kebun binatang pada umumnya.

Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)
Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)

Penangkaran Buaya  32 Tahun

Beda Taman Buaya Indonesia Jaya ini dengan buaya di kebun binatang pada umumnya adalah, di sini merupakan lokasi penangkaran buaya.  Sudah lama, berdiri tahun 1991.  Artinya sudah 32 tahun lamanya berdiri.  

Aku lihat area ini cukup megah. Ada patung buaya dengan mulut teranga lebar sekira panjang 4-5 meter di depan lokasi.  Lengkap dengan tulisan di bagian tembok bawah patung, Taman Buaya Indonesia Jaya.

Masuk ke bagian dalam melalui pintu masuk. Ada meja kayu di sebelah kanan, tempat membeli tiket. Harga tiket Rp. 20.000,-/ orang.  Area dalam, lega. Luas dengan hamparan rumput. Ada kursi ayunan anak-anak, meja kursi dari bata, juga warung-warung kecil.

Sementara di beberapa titik sudut ada kolam-kolam yang luas. Ada 6 buah koam. Itulah kolam tempat buaya berada. Kolam dengan kontur tanah, dilengkapi dengan kolam air di bagian tengah dipadu dengan daratan tanah di sisi kolam.

Buaya di Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)
Buaya di Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)

Kolam dipagari tembok, setinggi kuperkirakan 1,5 meter. Tembok berkeliling. DI luar tembok ada parit lumayan dalam. Parit dibuat berkeliling juga. Terus dikasih pagar terbuat dari besi. Ini sepertinya memang untuk pengamanan. Jadi pasti aman.

Asal tahu saja, menurut petugas, Pak Warsidi,  buaya-buaya besar berumur antara 20-65 tahun itu, meski kadang ada buaya yang bisa melewati tembok pagar, namun tak berkutik kalau jatuh di parit. Aman kan?

Kita bisa berkeliling kolam dengan nyaman melihat aktivitas reptil besar ini. Ada buaya Papua warna kulitnya hitam, buaya Kalimantan moncong panjang dan Sumatera di kolam buaya.    

Ada 6 kolam buaya dengan beragam ukuran luas. Kolam terbesar ada di "Kolam Istana", dengan penghuni 200an ekor buaya. Menurut Pak Warsidi, total buaya ada sekitar 320 buaya yang berkeliaran di kolam.

Selain itu ada jenis buaya putih, aslinya warna albino dan buaya buntung. Buaya buntung dan albino ini dipisahkan di kolam tersendiri yang lebih kecil.

Oya, buaya-buaya di sini juga bertelur bebas di sudut-sudut kolam.

Taman Rekreasi dan Atraksi  

Di taman ini, kita bisa leluasa berekreasi. Tempat yang lega dan ada taman-taman bermain cocok untuk liburan keluarga.  

Sebagai tempat rekreasi, kita bisa merasakan sensasi berbeda, karena tempat tidak menawarkan keindahan alam. Sensasi menyaksikan ratusan buaya besar dalam satu kelompok.

Kita juga bisa menyaksikan para petugas memberi makan buaya.  Kita bisa  mengelilingi kolam menyaksikan ratusan buaya besar sedang berjemur. Kami bahkan bisa menyaksikan dua buaya besar sedang bertarung.  Kata pawangnya, buaya itu sedang berebut daerah kekuasaan.

Seumur-umur belum pernah dengar suara buaya secara langsung. Suaranya mirip lenguhan. Keras juga. Buaya yang bertarung itu sampai saling gigit dan terluka di kulitnya lor. Bayangin, padahal kulitnya keras, bisa keluar darah, berarti gigi-gigi buaya sungguh tajam. 

Selain itu, siapa tahu bisa beruntung melihat telur-telur buaya atau bayi buaya yang baru saja menetas dari telurnya.

Sebagai edukasi kita bisa lebih dalam mengetahui habit hewan reptil yang masuk golongan buas ini.  Belajar dari pawangnya tentang kebiasaan buaya dan cara menghindari bahaya yang ditimbulkannya.

Sebagai hiburan yang sensasional, cerita Pak Warsidi menyebutkan bahwa taman ini menyediakan atraksi buaya. Atraksi seru antara pawangnya dan buaya. Menyaksikan bagaimana pawang tidur di punggung buaya, atau kepala pawang masuk ke dalam mulut buaya.

Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)
Taman Buaya Indonesia Jaya di Cikarang Barat. (Dokpri)

Kondisi yang Butuh Perhatian 

Dulunya taman ini sempat ramai pengunjung. Namun seperti dituturkan Pak Warsidi, digerus  pandemi, tempat ini sepi. Sementara perawatan seperti biaya makan buaya mengandalkan tiket pengunjung. Maklum saja taman ini milik swasta.  

Makanan buaya adalah ayam tiren. Namun saat ini tidak setiap hari buaya dikasih makan. Hanya tiap Selasa dan Jumat saja. Itu pun dengan jumlah terbatas. Di sisi lain,  tidak ada pemeriksaan medis dokter hewan secara berkala.

Banyak buaya yang mati. Awalnya jumlah buaya di taman ini sekitar 500 ekor. Seiring waktu, jumlahnya menyusut. Sekarang tinggal 320 ekor buaya saja.  

Pantesan, saat masuk aku mencium "bau-bau" bangkai getu. Ternyata memang ada buaya yang mati.

Tentu saja dengan kondisi darurat "SOS" demikian, berimbas kepada para petugasnya, seperti Pak Warsidi. Juga para pelaku usaha warung makan di taman.

Semoga saja ada langkah-langkah krusial dari pemiiknya atau siapapun yang peduli terhadap nasib ratusan buaya di taman ini, untuk menghidupkan dan membangkitkan kembali taman buaya ini. 

Potensi wisata di dalamnya masih menarik untuk ditawarkan bagi siapapun yang ingin berliburan dengan sensasi yang berbeda. Apalagi lokasinya bisa dicapai dengan mudah dari  Jakarta.

Lokasi ada di Jalan Raya Cibarusah, Kecamatan Serang, Bekasi, Jawa Barat. Mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi umum. Jika menggunakan kendaraan pribadi, lewat jalur tol Cikarang Barat. Keluar dari tol, ambil posisi kanan untuk menuju Jonggol Bogor.

Atau enak juga bagi teman-teman di Jabodetabek, bisa menggunakan moda KRL turun di stasiun ujung timur, Stasiun Cikarang. Lanjut angkot ataupun transportasi online. Meski lumayan jauh, masih oke buat jalan rame-rame.

Happy berliburan.

IG @rachmatpy @rahabganendra

Sumber referensi

Saung Ranggon, Keunikan Rumah Tertua Bersejarah di Bekasi

Cagar Budaya dan Pariwisata 

Mengenal Cagar Budaya 

Menengok Taman Buaya di Bekasi, antara Penangkaran dan Atraksi  

Taman Buaya Indonesia Jaya, Penangkaran Buaya Terbesar di Asia
 
Baca juga Artikel :  [VIDEO] Jelajah CLICK ke Saung Ranggon dan Taman Buaya Indonesia Jaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun