Mohon tunggu...
Rachmat PY
Rachmat PY Mohon Tunggu... Penulis - Traveler l Madyanger l Fiksianer - #TravelerMadyanger

BEST IN FICTION 2014 Kompasiana Akun Lain: https://kompasiana.com/rahab [FIKSI] https://kompasiana.com/bozzmadyang [KULINER] -l Email: rpudiyanto2@gmail.com l IG @rachmatpy @rahabganendra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertahun-tahun Melawan Tuberculosis, Merengkuh Tangan Orang-orang Sepenanggungan

12 Mei 2017   02:11 Diperbarui: 17 Mei 2017   22:56 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatihan PMO di RS Jakarta Timur. (Dok Yulinda)

Dua tahun bukan waktu yang pendek baginya yang divonis sakit Tuberculosis / TB. Bukan hanya rasa sakit fisik bertahun-tahun namun sekaligus psikis, kerinduan dengan orang-orang terkasih yang mesti terpisah, harus mampu diatasinya. Diantara asa dalam butiran-butiran obat yang setiap hari seakan membawa asa kesembuhan dan semangat yang tak boleh padam. Menyalakan api-api harapan untuk berjuang, tak menyerah pada keadaan, membuatnya menjalani hari-hari ‘sakitnya’ dengan ikhlas.

Setiap hari yang berganti, setiap terbitnya matahari adalah perajut mimpi-mimpi kecilnya yang terus terukir. Jatuh bangun yang mendera, stigma negatif yang menimpa, tak menyurutkannya untuk meraih harapan akan sebuah kata, ‘kesembuhan.’Kesembuhan yang menjadi titik tolak membuka jalan hidupnya lebih bermakna. Makna ketika dirinya berkesempatan merengkuh tangan cinta kasih pada orang-orang sepenanggungan. Orang-orang yang menanggung derita, derita yang pernah dialaminya, dulu. Meski seperempat paru-parunya sudah tak berfungsi kembali.

Yulinda Sentosa. (Foto GANENDRA)
Yulinda Sentosa. (Foto GANENDRA)
Yulinda Sentosa, sosok wanita bersahaja yang sekilas orang tak akan menduga dirinya pernah mengalami peristiwa berharga dalam perjalanan hidupnya. Momen saat vonis Tuberculosis / TB tersemat dalam catatan waktu yang dilaluinya. 2005 adalah tahun yang takkan pernah dilupakannya. Saat Yuli (nama pangilannya) usai lulus SMA dan bekerja di kota tempat tinggalnya, Bogor, Jawa Barat. Gejala TB regular  yang sudah dirasakannya, batuk disertai  berat badannya yang turun drastis, tinggal 34 kg dari bobot awalnya 45 kg. Fase baru pun dijalaninya. Pengobatan.

Pengobatan dilakukannya setelah dianjurkan tetap menjalani pengobatan meski dalam posisi harus bekerja. Hingga kondisi membaik dirasakannya pada bulan ketiga fase berobat. Merasa sehat dan pulih, itu berujung pada keputusan untuk berhenti berobat. BB naik, batuk hilang. Kontrol dokter pun tak dilakukan lagi.  Hasilnya?

Sebulan tak minum obat,  penyakitnya pun kambuh. Kali ini lebih serius yang mengantarkannya untuk berobat ke rumah sakit di Cisarua dan membuatnya harus berhenti kerja. Meski dalam semangat-semangatnya mencari nafkah. Dokter menyatakan dirinya positif  untuk terus berobat  dengan vonis obat suntik selama 6 bulan. Tak berhenti sampai di situ, pengobatan harus dilakukan  setahun.

Sempat dinyatakan sembuh pada Desember 2010 yang ternyata tak lama.  Maret kambuh.  Batuk-batuk kembali menyerangnya. Kali ini lebih serius. Pemeriksaan yang ketiga kalinya dilakukan. Dokter paru-paru yang dulu pernah memeriksanya khawatir dengan kondisinya, yang kambuhan. Resisten.


Hasil pemeriksaan menyatakan ia resisten terhadap dua macam obat dari enam obat yang dikonsumsinya seperti Rifampicyn, INH, Pyrazinamide dan Ethambutol. Obat  Rifampicyn dan INH-lah yang resisten terhadap tubuhnya, hingga Yuli dinyatakan MDR (Multi Drug Resistan), yang artinya dirinya mengidap  TB kebal dua obat. Dan kisah deritanya pun seakan dimulai kembali.

Berpisah dari Keluarga

Tak bisa tidak, pengobatan harus berlanjut. Pilihan yang berat, pasalnya pengobatan tidak tersedia di Bogor, harus di Jakarta yakni RS Persahabatan.  Pilihan beratnya adalah di satu sisi harus memilih, meninggalkan bogor dan menetap di Jakarta karena mesti pengobatan tiap harinya. Sekaligus kehilangan pekerjaan, terpisah dengan keluarga.

“Saat itu pilihan hidup ada di tangan saya. Kalau berobat harus meninggalkan keluarga selama 2 tahun. Kalau gak berobat, artinya saya menyerah pada keadaan dan mungkin saya gak bisa hidup sampai sekarang,” tutur Yuli dengan mata yang berkaca-kaca mengingat masa itu.

Di saat kondisi seperti itu, Yuli merasakan lambat laun teman, kerabat  menjauhinya. Bahkan salah seorang tantenya terang-terangan  tak mendukung, menertawakan dan menudingnya dirinya yang salah.  Pilihan pun harus ditetapkan. Dengan  berat hati ia meninggalkan Bogor, kota kelahirannya dan tinggal di Jakarta. Membuat orangtuanya mesti berpisah dengannya, anak semata wayangnya.

“Saya tinggalkan semua.  Saya tak mau menulari orang tua dan orang-orang sekitar,” katanya.

Lalu apa yang dirasakannya saat di rumah sakit di Jakarta?

Shock! Itu yang dirasakan Yuli. Bagaimana tidak, melihat setiap pasien yang sepenanggungan denganyya, minum obat  dengan jumlah sedemikian banyak. Antara 13 - 20 butir obat. Sekaligus menjalani obat suntik selama 6 bulan. Setiap hari, kecuali Sabtu minggu libur suntik. Dirinya pun harus mengkomsumsi obat 13 macam obat setiap harinya! Dan itu harus dijalaninya selama 2 tahun. Tak terbayang di benaknya.

Stigma Negatif, Ditolak Ibu Kost

Masalah belum berhenti. Tinggal di Jakarta untuk menjalani pengobatan 2 tahun, mengharuskannya untuk punya tempat tinggal. Di satu sisi butuh biaya untuk transportasi dan hidup. Pekerjaan tak punya, biaya hidup ditanggung sendiri.  Beruntung kemudian ada bantuan dari Global Fund yang sedikit banyak bisa menutupi biaya keseharian.

Tak punya saudara di Jakarta, membuat Yuli harus kost. Mencari kost ternyata bukan hal yang mudah, seiring dengan penyakitnya.

“Ibu kost menolak, diusir, karena tau saya kost karena berobat.  Uang dikembalikan padahal baru sehari,” tuturnya, yang membuatnya esok harinya karena shock, TB belum diobati, batuk keluar bercak darah.

Beruntung ada kost yang menerima, saat Yuli terpaksa mengaku bekerja, dan merahasiakan misi pengobatannya. Selama setahun disamping setiap hari datang ke RS Persahabatan untuk menunaikan ‘ritualnya’ minum obat, Yuli juga membantu suster. Dari sekadar menyediakan  kapas, membopong pasien dari bajaj dan lain-lain. Ia senang melakukannya bersama pasien lainnya yang mengidap penyakit sama, TB.

Yuli (depan) saat pelatihan pendidik sebaya / peer edukater utk kenaggotaan PETA di RS persahabatan Maret 2017. (Dok Yulinda)
Yuli (depan) saat pelatihan pendidik sebaya / peer edukater utk kenaggotaan PETA di RS persahabatan Maret 2017. (Dok Yulinda)
Bangkit dan Pejuang Tangguh

Kesibukkannya selain menjalani pengobatan itu, membersitkan semangat baru. Semangat hidup untuk bermanfaat bagi orang lain. Bagaimana Yuli turut merasakan derita orang-orang yang mengidap TB, menjalani pengobatan yang cukup lama. Inspirasi pun muncul dalam benak dirinya dan 10 rekan-rekan pasien TB.

“Ya Allah,  kalau saya sembuh, selain ibadah, saya mau tolongin orang-orang seperti ini,” inspirasi Yuli saat membantu orang-orang penderita TB.

Saat dalam kondisi pengobatan yang masih terhitung lama, beruntung Yuli memiliki sahabat yang sepenanggungan. 10 orang rekanya yang selalu  kompak, datang pada jam yang sama.  Timbul rasa kepedulian dengan 10 temannya. Hingga suatu ketika inspirasi untuk membantu orang-orang penderita TB itu tercetus dalam kelompok paguyuban yang dinamai PETA, singkatan dari Pejuang Tangguh.  Bersama kawan-kawannya, seperti pendiri PETA, Zainy Edi (alm) dari Lampung, Yuli membantu pasien TB, meski dirinya belum sembuh dari penyakit itu. 

“Dapet  Musibah dapet  Berkah,” tutur wanita berjilbab kelahiran Bogor 10 Juli 1987 ini.

Namun bukan hal yang mudah, saat menjalani pengobatan. Seperti pada bulan ketiga, Yuli mengalami halusniasi, muntah setiap hari, puasa gak kuat, yang membuatnya ingin pulang ke Bogor.  Temannyalah yang selalu member semangat. Hingga membuatnya yakin tak boleh menyerah dengan keadaan.   

Bulan ke 9, pada 2012. Yuli dinyatakan konversi, lepas dari pengobatan suntik.  Hingga sampai di 20 bulan hampir selesai, semangat lagi untuk sembuh yang membuahkan hasil. Yuli dinyatakan sembuh pada bulan ke 21, yakni pada  3 Februari 2013 dari pengobatan awal  sejak 3 Mei 2011. Kebahagiaan yang tak dapat diutarakan dengan kata-kata. Bisa dibayangkan selama 2 tahunan minum obat dalam masa pengobatan.

 “Ketika dinyatakan sembuh, perjuangan saya seperti dikasih tiket umroh, haji,” katanya yang mengaku wajahnya pernah hancur, berjerawat, kulit melepuh, hitam, dan badan kurus.

Pelatihan kader TB biasa di RS wilayah Jaktim 2017. (Dok Yulinda)
Pelatihan kader TB biasa di RS wilayah Jaktim 2017. (Dok Yulinda)
Merengkuh Tangan, Membantu Pasien Sepenanggungan

Berkah dari kesembuhannya itu, Yuli bertekad untuk membantu pasien TB melalui PETA bersama rekan-rekannya yang saat ini ada 30 orang. Juga bertemu mentor  Erman Varella Sabir dulunya bertugas sebagai Social Worker KNCV dan bertugas di RS Persahabatn mulai menggerakkan pendidik sebaya (Peer Edukater/ PE).  PE berbasis mantan pasien TB yang dilatih, tujuannya memberdayakan teman-teman, mendampingi pasien yang sedang menjalani pengobatan.   

“Inilah hidup. Saya tak tau ketika saya sakit mengapa Tuhan beri cobaan seperti ini,ternyata Allah punya rencana, mungkin dengan ini jalan sayabisa membantu orang-orang,” kata Yuli yang suka baca buku Khalil Gibran dan ingin traveling ke Jepang ini.

Bagi Yuli, hidup adalah untuk bermanfaat buat orang lain. Sebaik-baik manusia, yang bisa berbuat untuk manusia yang lain. Melakukan dengan sepenuh hati, hingga mendapatkan hasil yang terbaik untuk kita.  

Oleh karena itulah Yuli, saat ini Yuli mengabdikan diri  di PETA sebagai Koordinator lapangan. Ia bertanggungjawab mengkoordinir, mengatur jadwal teman-temannya setiap harinya. Bersama rekan-rekannya menunaikan tugas melalui program-program yang dibentuk seperti, Hospital visit di RS persahabatan, Home visit yakni mengunjungi pasien yang mangkir, mengunjungi pasien yang sudah terdiagnosa MDR tapi belum berobat dan lain-lain.  Sebuah aksi mensupport  Kementerian Kesehatan Sub TB, KNCV, dan bermitra  dengan NU, maupun PR TB Aisyiah.

“Teman-teman juga menjadi supporter, pendamping di berbagai puskesmas di Jakarta,” tutur wanita yang mengagumi Mama Theresia, sosok yang menginspirasi kesosialan dirinya. 

Yuli memberikan edukasi dengan pasien mangkir enroll. Belum mulai pengobatan. Sudah terdiagnosa 2016. (Dok Yulinda)
Yuli memberikan edukasi dengan pasien mangkir enroll. Belum mulai pengobatan. Sudah terdiagnosa 2016. (Dok Yulinda)
Satu pesan disampaikan Yuli untuk masyarakat awam, ingin masyarakat tahu agar tidak memberi stigma negatif lagi pada penderita TB. Penderita butuh dukungan. Mereka berhak untuk sembuh.  Jangan ditambah lagi dengan stigma negatif masyarakat. Paling utama adalah dukungan keluarga.  TB bisa disembuhkan asalkan pasien patuh minum obat sesuai anjuran dokter. Obat memang hanya perantara, Tuhan yang memutuskan, tapi harus berusaha.  

“Dan punya keyakinan, bahwa ini adalah perjalanan kecil, 2 tahun untuk selamanya,”katanya.

Harpan Yuli agar penderita punya kesadaran bahwa punya kewajiban untuk tidak menularkan. Menyayangi orang sekitar, keluarga agar tak tertular dengan menumbuhkan semangat untuk bisa sembuh. Karena TB bisa disembuhkan, bukan penyakit ketrurunan ataupun kutukan.

 “Kau jauh lebih kuat dari apapun, bila percaya pada dirimu bahwa kau mampu,” kata Yuli memberi  quote dari temannya, salah seorang penderita TB yang selalu diingatnya. #PejuangTangguh

@rahabganendra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun