Mohon tunggu...
Mohd Rafi Riyawi
Mohd Rafi Riyawi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STAI Hubbulwathan Duri

Tertarik menganalisa kejadian-kejadian hukum Islam kontemporer, politik dan Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Etika Berpolitik dalam Islam: Tinjauan QS Al-Hujurat 10-13

22 April 2019   13:24 Diperbarui: 22 April 2019   13:37 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Rabu 17 April 2019 yang lalu, Indonesia mengukir sejarah dengan menggelar pilpres dan pileg serentak. Sembilan belas (19) partai politik dan dua (2) pasang capres dan cawapres bertarung untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat. Kontestasi yang sebenarnya melelahkan --hampir 8 bulan beradu visi dan misi- menyebabkan 'terpecahnya' rakyat terutama pemilih muslim dalam menentukan pilihannya. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah wajar jika para kontestan berebut simpati agar mendukung partainya atau capres-cawapresnya. 

Berbagai cara dan usaha dilakukan agar dukungan tersebut mengalir deras. Mulai dari sebutan sebagai partai berbasis Islam, partai dakwah hingga mengajak ulama ikut andil dalam meraup suara. Strategi ini boleh dikatakan berhasil dengan partai-partai berbasis keagamaan tersebut meraup suara yang apabila digabungkan hampir mencapai 28 persen. Angka yang besar sesungguhnya jika partai-partai tersebut bersatu. Namun, begitulah kenyataannya. Partai-partai yang berbasis Islam lebih mementingkan suara kelompok dibandingkan suara Islam. Akibatnya suara umat Islam terpecah sedang suara partai nasionalis memperoleh keuntungan darinya.

Berbicara tentang kontestasi capres dan cawapres, umat Islam benar-benar terpecah dalam menentukan suaranya. Kubu petahana karena tidak memperoleh rekomendasi dari ijtima' ulama, justru memilih ulama menjadi cawapresnya. Sedangkan kubu oposisi disaat akhir malah memilih seorang pengusaha dengan rekomendasi ijtima' tersebut. Perbedaan inilah yang menyeret umat Islam 'terperangkap' dalam menentukan pilihannya. Kubu petahana mendapat dukungan dari ormas-ormas Islam besar seperti Nahdhatul Ulama yang jelas-jelas telah memiliki nama besar di negeri ini. Sedangkan kubu opisisi 'hanya' mendapat dukungan dari ormas-ormas yang boleh dikatakan masih baru perannya dalam perpolitikan. Ditambah lagi dengan isu bahwa kubu oposisi didukung oleh salah satu ormas Islam yang telah dibubarkan oleh pemerintah karena disinyalir berpaham radikal, dianggap akan mengubah dasar negara. Terlepas dari anggapan tersebut, yang nyata suara umat Islam terpecah. Perpecahan tersebut malah menimbulkan gesekan negatif karena masing-masing kubu berusaha menarik simpati rakyat untuk memilih jagoannya.

Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa etika berpolitik tidak lagi santun. Eskalasi politik semakin terasa dengan masing-masing calon menampilkan slogan dan jargon untuk menarik simpati calon pemilihnya. Sayangnya, kenaikan tensi politik tersebut malah menjurus ke arah negatif. Hal ini terlihat dari semakin memanasnya suhu politik baik sebelum pencoblosan apatah lagi setelahnya. Masing-masing kubu terlihat tidak lagi mementingkan etika ketika sedang mengkampanyekan calonnya. Pasca pencoblosan, tensi itu semakin naik dan kalau tidak segera dicari solusinya bisa menyebabkan chaos (rusuh). Padahal, kedua kubu didukung oleh para kiyai, para ustad dan para habaib yang semestinya mampu meredam suasana panas ini. Namun, kenyataannya malah para pemuka agama ini sebagian bersikap 'ekstrim' dengan perkataan-perkataan yang memancing situasi makin tak menentu. Makin membuat umat bingung. Memang tak ada asap kalau tidak ada api. Akan tetapi sebagai orang yang berpengetahuan agama, mengetahui adab dan sopan santun, seyogyanya para ulama ini memberikan kesejukan kepada masing-masing pengikutnya.

Dalam Islam, al-Quran dan Hadits harus menjadi pijakan dalam segala urusan, tidak terkecuali dalam berpolitik. Al-Quran telah memberikan rambu-rambu pada umatnya supaya beretika dalam politik. Rambu-rambu tersebut terdapat dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 s/d 13:

Pertama; pada ayat ke-10 terkandung makna ishlah yakni mendamaikan. Konstelasi politik yang semakin memanas antara kedua kubu umat Islam semestinya harus bisa diredamkan oleh para ulama di kedua belah pihak. Para kiyai dan para ustad jangan malah menjadi corong pertikaian umat. Apalagi pada saat-saat menunggu hasil akhir perhitungan suara ini. Tensi yang semakin naik mesti diredamkan dengan peran para ulama. Hindari perkataan-perkataan provokatif dan kontradiktif karena hal tersebut hanya akan menambah kebingunan masyarakat awam.

Kedua; pada ayat ke-11 terkandung larangan memperolok-olokkan, saling mencela, serta memangggil dengan panggilan yang buruk. Ini yang terjadi. Sesama umat Islam saling mengolok-olok, saling mencela dan saling memanggil lawannya dengan panggilan yang buruk. Kata kampret dan cebong adalah seburuk-buruk panggilan yang tidaklah seharusnya ditahbiskan pada manusia. Sayangnya. Malah ada para kiyai yang berapi-api memanggil lawan politiknya dengan panggilan buruk tersebut, padahal lawannya tersebut adalah muslim. Belum lagi masing-masing saling mencela karena membela jagoannya. Sikap ini termasuk zalim menurut agama.

Ketiga; pada ayat ke-12 diperingatkan Allah supaya menjauhi prasangka dan mencari kesalahan serta menggunjing. Situasi politik yang semakin memanas membuat masing-masing pihak berusaha mencari kelemahan bahkan menjurus fitnah. Gunjingan berupa kekurangan dan kelemahan lawan mengemuka. Isu ini yang sering dijual sehingga umat menjadi terpengaruh. Hoax semakin santer terdengar dan terpublikasi di media sosial. Semestinya ulama berperan menangkal hal tersebut meskipun itu benar. Namun, karena ambisi politik yang besar menyebabkan aib tidak lagi terdengar tabu untuk diungkit. Akhirnya masyarakat ikut-ikutan menggunjing dan berprasangka buruk.

Keempat; pada akhirnya etika berpolitik dalam Islam ini ditutup pada ayat ke-13 dimana Allah mengingatkan bahwa Dia menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling mengenal, saling berkasih sayang, saling mengingatkan jika terdapat kesalahan. Jangan tercipta politik identitas karena jika itu terjadi maka bisa muncul gesekan antar umat, antar suku bahkan antar agama. Islam tidak membenarkan jika ada yang mempertanyakan kehebatan ibadah mahdhah seseorang karena hal itu tidak boleh dicampurkan ke masalah politik. Itu merupakan urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya. Islam juga tidak membenarkan sesama ormas saling menjatuhkan. Tetapi Islam menyuruh agak selalu menutup kekurangan saudaranya agar sikap bersuku dan berbangsa itu menjadi sejuk tanpa intrik saling menjatuhkan.

Demikian Islam mengatur kehidupan manusia. Jika etika politik seperti ini yang dijalankan InsyaAllah pemilu aman dan damai seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa akan terwujud. Ingatlah, bahwa peran ulama sangat besar membawa umatnya menuju kemajuan atau kemunduran. Sebagai pewaris Nabi, para ulama mesti bersatu, bersepakat dalam memberikan pelajaran etika berpolitik meskipun berbeda pilihan. Semoga tujuan baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur terwjud kelak di negeri tercinta ini. Amin ya rabbal alamin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun