Mohon tunggu...
Rafi Surya Ramadhan
Rafi Surya Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa

seseorang yang sedang mengembangkan dirinya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Saat Terompet Rimba Mulai Membisu

1 Oktober 2025   19:56 Diperbarui: 1 Oktober 2025   19:56 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Gajah Liar di Sabana (Sumber : Unsplash)

Di tengah hutan tropis yang lebat sampai padang sabana yang luas di Afrika, gajah diakui sebagai salah satu hewan darat terbesar di muka planet ini. Dengan ukuran tubuh yang sangat besar, belalai yang berguna untuk berbagai hal, serta kemampuan ingat yang luar biasa, gajah tidak hanya melambangkan kekuatan, tetapi juga menjadi simbol kebijaksanaan dan kedamaian. Namun, dibalik pesona dan kebesaran tersebut, gajah kini berada di ambang ancaman yang serius. Jumlah populasi mereka terus merosot disebabkan oleh perburuan gading yang brutal, hilangnya tempat tinggal karena pengalihan fungsi lahan, serta semakin meningkatnya konflik dengan manusia. Ironisnya, hewan yang mampu menggetarkan hutan dengan suara gemuruh dan teriakan panjang itu justru tidak bisa menyampaikan derita mereka dalam bahasa yang kita pahami. Kesunyian inilah yang membuat gajah tampak "tanpa suara" di tengah kesedihan mereka. Disinilah manusia harus bertindak sebagai penghubung suara, mengungkapkan jeritan derita yang tidak terdengar, dan berfungsi sebagai jembatan yang mengingatkan dunia bahwa keberlangsungan hidup gajah adalah bagian penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Saat terompet hutan mulai meredup, sudah seharusnya kita bersuara untuk mereka.

Menurut laporan dari World Wildlife Fund (WWF), jumlah gajah di seluruh dunia telah mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Populasi gajah Afrika, yang pernah mencapai lebih dari 10 juta di awal abad ke-20, kini hanya tersisa sekitar 415.000 individu. Sementara itu, gajah Asia yang tersebar di 13 negara kini berjumlah sekitar 40.000 hingga 50.000 ekor, dan sebagian besar tidak hidup di daerah yang dilindungi, menjadikannya rentan terhadap berbagai ancaman. Di Indonesia sendiri, gajah Sumatra yang merupakan subspesies dari gajah Asia hanya tersisa antara 1.300 hingga 1.700 individu di alam liar, dan statusnya sekarang telah meningkat menjadi "Kritis" (Critically Endangered) menurut IUCN. Angka ini menunjukkan betapa mendesaknya masa depan gajah di dunia.

Penyebab utama penurunan jumlah gajah dapat langsung dikaitkan dengan tindakan manusia, dengan perburuan ilegal menjadi ancaman paling signifikan. Permintaan akan gading gajah di pasar gelap masih sangat tinggi, terutama di kawasan Asia dan Afrika, di mana gading gajah dipandang sebagai simbol kekayaan, bahan untuk kerajinan, dan obat tradisional yang tidak memiliki bukti ilmiah. Akibatnya, ribuan gajah menjadi korban pembunuhan kejam setiap tahunnya hanya untuk mendapatkan sepasang gading yang nilainya bisa sangat mahal. Yang lebih memilukan, gajah betina yang tidak memiliki gading panjang dan besar sering kali ikut terbunuh karena dianggap menjadi penghalang bagi para pemburu. Selain perburuan, kerusakan habitat pun sangat memberikan dampak yang merugikan. Kegiatan penebangan liar dan konversi hutan menjadi kebun monokultur, seperti kelapa sawit atau karet, telah mengambil alih tempat tinggal alami gajah. Padahal, gajah membutuhkan wilayah jelajah yang sangat luas hingga ratusan kilometer persegi untuk mencari makanan dan menjalani interaksi sosial. Ketika hutan berkurang, gajah terpaksa mendekati pemukiman manusia, memakan tanaman di ladang, dan sering kali dianggap sebagai hama. Keadaan ini memicu konflik antara manusia dan gajah, di mana kedua pihak sering kali mengalami kerugian. Di Sumatra, misalnya, banyak gajah yang menjadi korban racun, terjerat, atau dibunuh karena merusak kebun, sementara petani juga mengalami kerugian finansial akibat rusaknya ladang mereka. Konflik yang terus-menerus ini menunjukkan bahwa hilangnya habitat bukan sekedar isu ekologis, tetapi juga tantangan sosial-ekonomi yang rumit, dan jika tidak ditangani dengan serius, akan mempercepat proses kepunahan gajah di alam liar.

Keberadaan gajah sebenarnya sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sehingga mereka sering disebut sebagai "arsitek hutan". Dengan ukuran tubuh yang besar dan langkah yang kuat, gajah mempunyai kemampuan membuka jalur alami di tengah hutan yang padat, menciptakan jalan setapak yang digunakan oleh hewan lain untuk berpindah dan mencari makanan. Belalai mereka yang fleksibel dimanfaatkan untuk merobohkan dahan pohon, menggali tanah, hingga menemukan sumber air tersembunyi yang juga bisa diakses oleh hewan lainnya. Selain itu, gajah juga memiliki peranan dalam penyebaran biji-bijian besar. Biji-bijian ini dari berbagai jenis pohon yang mereka konsumsi akan terbawa jauh melalui perjalanan mereka, lalu dikeluarkan kembali dalam bentuk kotoran yang kaya nutrisi, mendukung pertumbuhan bibit baru dan memperkuat proses regenerasi hutan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis pohon dengan biji besar hanya dapat bertahan berkat keberadaan gajah sebagai penyebar alami. Jika populasi gajah menghilang, proses regenerasi hutan yang alami akan terhenti, yang berujung pada perubahan komposisi vegetasi, gangguan rantai makanan, dan penurunan keanekaragaman hayati secara signifikan.

Upaya untuk melestarikan gajah kini menjadi fokus krusial di level global dan lokal, karena melindungi gajah juga berarti menjaga keseimbangan ekosistem. Di tingkat internasional, munculnya Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) menjadi tonggak penting yang mengharamkan perdagangan gading dan bagian tubuh gajah di seluruh dunia. Di berbagai negara di Afrika, banyak taman nasional dikembangkan dan dijaga dengan ketat melalui patroli bersenjata untuk melawan para pemburu ilegal. Di Asia, program konservasi berfokus pada rehabilitasi habitat alami serta perlindungan area hutan yang berfungsi sebagai jalur pergerakan gajah.

Di Indonesia, pemerintah melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) berkolaborasi dengan organisasi konservasi seperti WWF dan Forum Konservasi Gajah (FKGI) mengimplementasikan program perlindungan yang lebih menyeluruh. Patroli anti-perburuan dilakukan untuk mengurangi jerat yang sering kali menyebabkan kematian gajah. Selain itu, pembangunan koridor satwa di wilayah Sumatra bertujuan untuk menghubungkan habitat yang terpisah agar gajah dapat berpindah dengan aman tanpa harus memasuki pemukiman penduduk. Di beberapa desa, masyarakat turut dilibatkan dalam program konservasi berbasis komunitas, seperti pelatihan penggunaan pagar listrik ramah lingkungan untuk mencegah kerusakan gajah pada kebun, sekaligus melindungi gajah dari potensi balas dendam manusia. Selain itu, pusat-pusat pelatihan dan penangkaran gajah, seperti yang ada di Way Kambas, Lampung, juga berperan penting dalam menyelamatkan gajah yatim piatu atau korban konflik. Beberapa gajah yang terlatih bahkan digunakan sebagai "gajah penjaga" untuk membantu mengusir kawanan gajah liar agar tidak memasuki area pertanian. Usaha-usaha ini menunjukkan bahwa konservasi gajah lebih dari sekadar menjaga populasi, tetapi juga menciptakan keseimbangan baru antara manusia dan satwa liar. Diharapkan, dengan kerjasama antara kebijakan pemerintah, dukungan masyarakat, dan kesadaran global, suara terompet gajah akan terus bergema di masa depan, sebagai tanda bahwa hutan kita tetap hidup dan bernapas.

Menjaga gajah berarti juga menjaga jantung dari kehidupan hutan, mempertahankan keseimbangan bumi ini, serta melestarikan warisan berharga untuk generasi di masa depan. Tugas untuk menjaga pelestarian gajah ini bukan hanya tugas orang yang berwenang disana, tetapi kita juga punya tugas menjadi garda terdepan untuk pelestarian ini, sekecil apapun usaha itu. Dalam situasi ini, kita diajak untuk tidak hanya menjadi pengamat tanpa suara di tengah penderitaan hewan, tetapi untuk hadir sebagai suara yang memperjuangkan hak-hak mereka untuk hidup. Gajah tidak dapat menuangkan duka mereka dalam tulisan atau berbicara di depan kita, namun setiap langkah beratnya di hutan mengirimkan sinyal bahwa mereka memerlukan perlindungan. Saat ini, saatnya kita menjadi suara dari teriakan yang tidak terdengar, memperjuangkan ruang hidup yang semakin menyempit, dan menolak segala bentuk penyalahgunaan yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Jika gajah punah, maka bagian dari ekosistem, budaya, dan bahkan identitas manusia akan tergerus. Mari kita bersama-sama menjaga agar suara terompet rimba tetap bergema, kalau bukan kita siapa lagi?.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun