Mohon tunggu...
Rafi Ahnaf Fauzan
Rafi Ahnaf Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa

Suka menulis copywriting...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

kampung gerabah sitiwinangun

19 Mei 2025   08:10 Diperbarui: 21 Mei 2025   22:15 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret foto bersama di Kampung Gerabah Sitiwinangun

Pada Kamis, 8 Mei 2025, rombongan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon mengadakan kunjungan ke Kampung Gerabah Sitiwinangun, Kab. Cirebon, sebagai bagian dari program kuliah lapangan. Kampung ini sudah menjadi sentra kerajinan gerabah sejak abad ke-15 setelah kedatangan Syekh Dinureja yang mengintegrasikan dakwah Islam dengan pelatihan membuat gerabah dengan Teknik hand wheel yang digunakan hingga kini memerlukan ketelitian dan kesabaran tinggi,  Meskipun pernah mengalami penurunan akibat maraknya plastik pada era 1980–1990, semangat membangkitkan kembali warisan leluhur terus digaungkan melalui festival, pelatihan pelajar, dan kolaborasi akademik.

Siti Winangun, Kunjungan ini tidak hanya mengenalkan aspek teknis pembuatan gerabah, tetapi juga menekankan nilai-nilai Islam dalam seni dan ekonomi komunitas lokal.

       Pada pagi hari yang cerah, puluhan mahasiswa berkumpul di kampus, semangat terpancar saat mereka menaiki bus menuju Sitiwinangun. Setibanya di desa, rombongan disambut oleh tabuhan kentongan dan aroma tanah liat yang khas. Mahasiswa berkeliling ke empat blok pengrajin, menyaksikan langsung proses pembentukan gerabah di hand wheel. Mereka diajak mencetak kendi kecil, merasakan langsung beratnya mengatur ketebalan dinding gerabah. Sore harinya, di pendopo desa, seorang tetua kampung membacakan sirah tentang Syekh Dinureja, menegaskan hubungan kuat antara seni gerabah dan penyebaran Islam. Diskusi hangat diakhiri dengan refleksi: bagaimana tradisi ini dapat dijadikan studi kasus integrasi agama, seni, dan ekonomi.

   Langkah kaki memasuki kampung ini seolah membawa mereka menembus lorong waktu. Di setiap sudut, tumpukan gerabah berbagai bentuk dan ukuran menjadi saksi bisu ketekunan generasi. Aroma tanah basah dan asap bakaran tradisional menyeruak, menciptakan atmosfer autentik yang jarang ditemui di era modern.

Para mahasiswa disambut hangat oleh para perajin, yang sebagian besar merupakan generasi sepuh yang masih setia menekuni warisan leluhur. Dengan sabar, mereka berbagi cerita, bukan hanya tentang teknik membuat gerabah, tetapi juga tentang filosofi dan sejarah yang terjalin di baliknya.

potret foto bapak Wastani sebagai Seniman Gerabah di Desa Sitiwinangun
potret foto bapak Wastani sebagai Seniman Gerabah di Desa Sitiwinangun

Salah seorang perajin senior, Bapak Wastani, dengan jemari ringkih namun cekatan, mendemonstrasikan teknik "tatap pelandas" (paddle anvil), sebuah metode pembentukan gerabah kuno yang telah dipraktikkan di Nusantara sejak masa prasejarah dan masih bertahan di Sitiwinangun. "Ini cara mbah buyut kami bikin gerabah, Nak," ujarnya lirih, matanya memancarkan kebijaksanaan. "Tanah ini punya ruh, diajak bicara, dibentuk dengan hati."

Bagi mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, cerita Bapak Wastani  bukan sekadar tentang kerajinan tangan biasa. Mereka teringat akan bagaimana Islam masuk ke berbagai wilayah, seringkali beradaptasi dengan budaya lokal dan bahkan merangkul keterampilan masyarakat setempat sebagai media dakwah. Di sinilah koneksi menarik itu terungkap.

Beberapa sumber sejarah menyebutkan peran tokoh penyebar Islam seperti Syekh Dinureja (Ki Mas Ratna Gumilang) dan Pangeran Panjunan dalam memperkenalkan atau mengembangkan teknik pembuatan gerabah di Sitiwinangun. Keterampilan ini diajarkan bukan hanya sebagai mata pencaharian, tetapi juga sebagai sarana mendekatkan diri dengan masyarakat, menyelipkan nilai-nilai keislaman melalui interaksi sehari-hari. Gerabah yang dihasilkan, seperti kendi untuk wudhu atau wadah air minum, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat muslim Cirebon kala itu.

Mahasiswa mulai melihat gerabah-gerabah ini bukan hanya sebagai artefak material, tetapi sebagai bukti fisik dari peradaban yang tumbuh dan berkembang. Motif hias sederhana pada beberapa gerabah kuno mungkin menyimpan simbol-simbol lokal yang berakulturasi dengan pengaruh Islam. Bentuk-bentuk fungsional gerabah mencerminkan kebutuhan masyarakat pada masa lampau, yang sebagian besar telah beralih ke bahan modern, namun jejaknya tetap lestari di tangan para perajin.

Diskusi pun mengalir. Para mahasiswa mengaitkan apa yang mereka lihat dengan materi kuliah tentang jalur perdagangan Islam, peran para sufi dalam penyebaran agama, dan akulturasi budaya. Mereka merenungkan bagaimana sebuah keterampilan sederhana seperti membuat gerabah bisa menjadi bagian integral dari tapestri sejarah peradaban Islam di Cirebon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun