Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Mahasiswa, Peternak, Pengamat sepak bola, dan Pebisnis.

Seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam. Menerima jasa konsultasi kuliah bagi mahasiswa. Memiliki peternakan Ayam Hias, Ayam Pelung dan Beberapa jenis burung (Perkutut, Derkuku dan Kicau). Menerima ajakan Bal-balan dan diskusi mengenai sepak bola. Menerima pesanan bibit pohon dan bonsai (by request). Menerima dan tidak akan menolak ajakan masuk Surga. Informasi lebih lanjut hubungi 0821-1939-4586 (WA), raffimfrq (Instagram). Raffi Muhamad Faruq (Facebook dan X/Twitter), raffimfrq@gmail.com, hobbypelunggarut@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Kita Jadi Takut Hidup Biasa-Biasa Saja?

10 Juli 2025   21:21 Diperbarui: 12 Juli 2025   11:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Raffi Muhamad Faruq

Oleh: Raffi Muhamad Faruq

Dalam diam, banyak dari kita sebenarnya sedang berjuang melawan ketakutan yang tak terucapkan: takut menjadi biasa-biasa saja. Tak punya gelar mentereng, tak viral di media sosial, tak punya jabatan yang bisa dipamerkan, atau bahkan tak punya kisah "inspiratif" yang bisa dijual di forum-forum motivasi. Kita hidup dalam zaman di mana yang "biasa" terasa seperti sebuah kegagalan yang samar, tapi menghantui.

Padahal, menjadi "biasa" bukan berarti tidak berarti. Tapi budaya hari ini tak memberi ruang bagi itu. Kita tumbuh dalam atmosfer yang dijejali oleh pencapaian orang lain, baik lewat media sosial, seminar, maupun lingkungan akademik. Ukuran sukses perlahan menjadi seragam: viral, kaya, produktif, dan punya branding. Dari sinilah muncul sebuah penyakit zaman modern yang dikenal sebagai achievement anxiety---kecemasan yang terus-menerus karena merasa belum "mencapai" sesuatu yang cukup wah di mata orang lain.

Fenomena ini sejatinya bukan semata persoalan pribadi, tapi juga struktural. Dalam konsep neoliberal individualism, individu dianggap sebagai proyek yang harus terus-menerus "diupgrade". Kamu harus selalu berkembang, harus lebih hebat dari kemarin, harus lebih unggul dari temanmu. Tidak heran jika akhirnya, kita merasa bersalah saat sedang rehat, merasa gagal ketika hidup berjalan lambat, dan merasa iri meski orang lain tak pernah merugikan kita.

Rasa takut menjadi biasa juga disuburkan oleh industri motivasi dan narasi-narasi inspiratif yang kerap bersifat toksik. Setiap kisah harus punya "plot twist" dramatis, setiap orang harus berangkat dari nol lalu sukses besar. Dalam bahasa sosiolog Pierre Bourdieu, masyarakat kita terjebak dalam "illusio"---yaitu permainan sosial yang kita anggap penting karena semua orang ikut di dalamnya, padahal mungkin itu tidak relevan dengan apa yang benar-benar kita cari. Kita terus berlomba tanpa sempat bertanya, "Apa benar saya ingin ini?"

Saya sendiri sempat terjebak dalam hal ini. Rasanya tidak cukup hanya menjadi mahasiswa yang rajin. Harus aktif organisasi, harus punya karya, harus punya pencapaian yang bisa diunggah. Ketika teman-teman mulai dikenal, mulai tampil di publik, mulai disebut-sebut dosen, saya mulai cemas: "Apakah saya tertinggal?" Padahal jika dipikir-pikir, saya tidak sedang gagal. Saya hanya sedang tidak viral. Tapi mengapa itu terasa seperti kegagalan?

Jawabannya: karena kita menilai diri bukan dari nilai-nilai yang kita bangun, tapi dari external validation. Kita lebih sering bertanya, "Orang lain akan melihat saya bagaimana?" dibanding "Saya ingin hidup seperti apa?" Akibatnya, banyak orang yang hidupnya tampak sukses, tapi hatinya kosong. Penuh pencapaian, tapi minim pemaknaan.

Menariknya, filsuf eksistensialis seperti Sren Kierkegaard sudah sejak lama membahas kecemasan ini. Ia menyebutnya sebagai "the sickness unto death"---penyakit jiwa yang muncul ketika manusia hidup tanpa menyadari siapa dirinya sebenarnya. Kita mengejar sesuatu hanya karena semua orang mengejarnya. Kita takut menjadi biasa bukan karena kebiasaan itu buruk, tapi karena kita tak pernah belajar berdamai dengan keheningan dan ketidaksempurnaan diri.

Ironisnya, sebagian besar kehidupan kita sebenarnya dijalani dalam kebiasaan. Tidak semua orang harus menjadi pemimpin besar, penemu hebat, atau selebritas digital. Dunia tetap butuh guru yang sabar, petani yang tekun, tukang yang jujur, penulis yang tidak dikenal tapi tulisannya menyentuh. Menjadi biasa bukanlah kekurangan, tetapi bentuk kemanusiaan yang utuh. Bahkan, dari situ justru lahir kebijaksanaan.

Mungkin, yang kita butuhkan bukan motivasi untuk terus berlari, tapi keberanian untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah saya benar-benar ingin ini, atau hanya takut dianggap tak berharga? Karena pada akhirnya, hidup bukanlah tentang menjadi luar biasa di mata orang lain, tapi tentang menjadi berarti di mata sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun