Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Merawat Parada dalam Ingatan Kita

12 Mei 2016   12:24 Diperbarui: 12 Mei 2016   13:07 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12 Mei 1998, 18 tahun yang lalu, empat jasad terbaring kaku di RS. Sumber Waras di barat Jakarta. Anak-anak muda yang kemudian dikenang sebagai pemantik reformasi di Indonesia, lebih sakral lagi, disebut Pahlawan Reformasi. Civitas akademika Universitas Trisakti, rutin mengadakan acara tahunan untuk memperingati kejadian (baca:tragedi) ini. 

Sebuah monumen dibangun di komplek kampus sebagai pengingat dan penghargaan atas apa yang pernah dilakukan oleh keempat pahlawan tersebut. Walau sebenarnya, monumen, tugu, atau apapun bentuknya hanya sebuah penampakan fisik yang jelas-jelas tidak lebih besar dari apa yangtelah mereka korbankan : nyawa. Tapi memang terkadang, sebuah pengingat menjadi sesuatu yang penting untuk melawan kelemahan paling hakiki manusia : lupa dan alpa.

Manusia, kelak akan terus diingat atas peninggalan besar dan apa yang dilakukannya di dunia. Kematian memutus harapan manusia untuk berbuat lebih banyak hal lagi yang nantinya akan diingat saat ia mati. Menyedihkannya lagi, ketika mati kita tidak meninggalkan apa-apa untuk diingat manusia lainnya. Itu artinya, kematian datang dua kali. 

Hari ini dan mungkin sampai entah kapan, kematian menjadi satu momen yang bakal selalu mendapat ruang dalam ingatan kita. Entah itu perkara siapa yang mati,bagaimana caranya kenapa mati, ataupun sekelumit kenangan yang pernah terekam sebelum mati. Kematian yang bisa datang kapan saja menjadi pengingat yang menyita ruang besar dalam kepala kita, kepala manusia. Saya jadi ingat, saat sepuluh tahun yang lalu menyaksikan perkelahian yang berujung kematian dari jarak yang sangat dekat, dan hingga satu dekade setelahnya ingatan saya masih sangat jelas merekam cerita  mengenaskan itu, walau secara emosional saya tidak terikat jalinan apapun dengan mereka. Sekali lagi, kematian pasti menyita satu ruang dalam kepala kita.

Mengingat (kembali) Parada dan Soza

12 Mei 2016, hari ini persis satu bulan yang lalu, Parada TF Siahaan dan Soza Nolo Lase gugur saat melaksanakan tugas negara. Kematian yang menguras emosi siapapun yang paham ceritanya, karena datang dengan cara yang teramat keji dan biadab. Satu bulan berlalu, pembunuhnya ditahan, asetnya disita. Keluarga Parada dan Soza ikhlas melepas kepergian orang yang sangat mereka cintai, sembari terus berharap kematian keduanya jadiyang pertama dan terakhir bagi petugas pajak


Walau kembali lagi, ikhlas pasti tak akan mampu menghapus ingatan mereka tentang cerita kematian keduanya. Air mata pasti akan tercurah, mengingat, membayangkan cucuran darah, hujaman batu, hunusan tajamnya belati, yang bercampur rintik hujan saat Parada dan Soza dihabisi. Perih sekali.

Menjadi sangat mudah untuk merekam peristiwa kematian keduanya dan mengabadikannya dalam ingatan kita. Keduanya pergi saat melaksanakan tugas yang ditahbiskan dengan mengambil sumpah diatas kepala. Keduanya pergi atas nama tanggungjawab kepada negara, representasi negara dalam sebuah penugasan yang memang tidak mudah. Keduanya pergi, mewakafkan diri, untuk pekerjaan yang menghidupi keluarga dan orang-orang yang mereka cintai. Parada pergi, saat harapan untuk melihat senyum buah hatinya tersimpul kelak ketika hari kelahiran tiba, harapan yang kemudian hilang, sirna. Perih sekali mengingatnya.

Memberi ruang untuk mengingat (kembali) Parada dan Soza artinya menghidupkan kembali semangat dan keteladanan mereka dalam diri kita. Betapa ada harga yang harus dibayar, dikorbankan, untuk melakoni sebuah amanah yang telah disematkan. Memberi ruang untuk mengingat (kembali) Parada dan Soza artinya mengajarkan kita bahwa sebaik-baiknya hidup adalah ketika semua orang meyakini apa yang kita lakukan adalah benar, dan  saat semua orang percaya bahwa kebenaran itu kekal. Kematian keduanya mengingatkan kita tentang apa yang disebut dengan legacy. Kehormatan manusia abadi saat mencoba bertahan akan kebenaran yang diyakininya, apapun risikonya. Dan kematian, sesungguhnya, hanya masalah waktu saja.

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, dan setahun setelah mereka pergi mungkin perlahan ruang dalam ingatan kita terkikis dan kelak akhirnya lupa. Tapi marilah mencoba untuk terus mengingat apa yang telah mereka korbankan, dengan terus mewujudkan apa yang mereka harapkan. Parada – Soza telah beristirahat kekal disana, namun harapan mereka tentang jaminan keamanan saat penugasan harus terus dihidupkan, mereka harus jadi yang terakhir. Begitupun harapan kita bahwa negara harus hadir dan tidak boleh kalah oleh intimidasi orang-orang yang merasa berkuasa atas hak hidup orang lain.

Mengekalkan ingatan kita tentang Parada dan Soza tidak hanya membantu kita untuk terus mengingat kematian, tapi menegaskan kembali, atas nama kemanusiaan, pembunuhan keji seperti itu tidak dapat dibenarkan, apapun alasannya. Pelaku harus diberikan hukuman setimpal, proses hukum harus terus dikawal atas nama keadilan. Seperti apa yang tertulis dalam surat paksa yang dibacakan Parada “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka mengingat Parada dalam ingatan kita adalah mengingat kembali apa yang ia korbankan dalam menegakkan keadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun