Rembang: Makna, Fungsi, dan Jejak Sejarah
Ada kata dalam bahasa Indonesia yang jarang terdengar, tetapi sangat bermakna: rembang, saat ketika segala sesuatu tiba tepat pada waktunya.
Menurut definisi dari KBBI, rembang berarti tepat benar (waktunya), yakni momen ketika sesuatu seharusnya terjadi: "segala takwin kitab dibuka, - lah saat dengan ketika." Dalam penggunaan sehari-harinya (walaupun sangat jarang digunakan zaman sekarang), kata ini berfungsi sebagai keterangan waktu yang menekankan kecocokan antara tindakan dan waktunya. Bukan sekadar 'tepat' secara kebetulan, melainkan tepat dalam arti kronologis dan kontekstual. Tindakan yang tiba pada saatnya, yang pas dan wajar untuk dilakukan. Dari segi sinonim, kata ini berdekatan maknanya dengan istilah-istilah seperti "pada waktunya", "tepat pada masanya", atau "saat yang tepat." Lawan kata yang jelas adalah "terlambat" atau "tidak pada waktunya". Sebagai keterangan, rembang memberi nada tenang, menunjukkan bahwa ada ritme atau tata waktu yang membuat suatu peristiwa menjadi sesuai atau bermakna.
Jejak sejarah dan asal-usul kata ini cukup sulit untuk ditelusuri secara pasti tanpa rujukan etimologis tersendiri. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata klasik sering memiliki akar bahasa Melayu atau bahasa daerah Nusantara yang diwariskan turun-temurun, sehingga kata rembang sendiri kemungkinan menyimpan makna-makna berbeda di berbagai daerah. Di ranah budaya, konsep waktu yang "tepat" mempunyai peranan penting. Dalam adat upacara, panen, dan ritual sosial masyarakat agraris, melakukan sesuatu pada "rembangnya" dianggap menentukan hasil dan makna. Perlu dicatat juga bahwa ada nama tempat, yaitu Rembang di Jawa, yang secara ejaan sama, tetapi dengan konteks berbeda. Satu adalah kata keterangan yang melukiskan ketepatan waktu, sementara yang lain menunjuk wilayah geografis. Kedua penggunaan itu bisa saling memperkaya imajinasi tetapi tidak memiliki hubungan etimologis langsung.
Dalam berbahasa, rembang sering muncul dalam kalimat yang memberi nasihat atau pengamatan. Misalnya, "Jangan buru-buru menasihati. Biarkan ia sampai pada rembangnya sendiri," atau "Panen padi akan berhasil bila langkah-langkah pertanian dilakukan pada rembang musim." Bentuk penggunaannya cenderung elegan dan bernuansa filosofis, mengajak kita menghargai waktu yang tepat sebagai bagian dari kebijaksanaan praktis. Kata ini mengundang kesadaran bahwa tindakan efektif bukan hanya soal niat dan usaha, namun juga soal rasa waktu. Kapan kita membuka percakapan sulit, kapan menunggu keputusan, kapan memanen tanaman, dan sebagainya. Dalam konteks modern, rembang dapat dipakai untuk menandai momen-momen strategis sepert peluncuran proyek, pengumuman, atau intervensi sosial, yang bila ditempatkan pada waktu yang tepat dapat mengubah hasil dan makna.
"Kamu tahu kenapa aku sering bilang rembang?" tanyanya. "Karena bukan setiap saat tepat untuk mengatakan semua yang kita rasakan."
Ketika Rembang Datang
Di kampung itu, orang-orang masih memegang pola hari seperti menyusun sebuag rajutan. Saat subuh di sawah, saat siang di pasar, dengan malam untuk bercerita. Lintang tumbuh sambil belajar memberi waktu pada setiap perkara. Ia tahu kapan harus mengerjakan tugas, kapan harus mendengarkan, dan kapan harus sekadar menunggu. Ibunya biasa bilang, "Ada kala kita menabur, ada kala kita menunggu hujan, dan ada kala di mana semua itu menjadi rembangnya sendiri." Ucapan itu, yang pada masa kanak-kanak terasa seperti pepatah, lama-lama menjadi panduan yang Lintang bawa ke manapun.
Suatu saat, sekolah di kampung merencanakan sebuah pagelaran kecil. Murid-murid akan menampilkan karya tentang perubahan iklim. Lintang, yang lebih suka menulis daripada berbicara di depan umum, ditunjuk untuk menulis naskah pembuka. Ia menimbang, kata-kata yang ia susun terasa penting, bukan hanya untuk hari pagelaran, tapi juga untuk memberi ruang bagi orang-orang mendengar apa yang terjadi pada sawah dan sungai mereka. Namun, seminggu sebelum acara, hujan lebat mengguyur. Jalanan berlumpur, sampai-sampai panitia kebingungan. Banyak guru menyarankan untuk menunda acara. Beberapa orang tua takut anak-anak mereka akan kepanasan di tenda yang berlumpur. Sementara itu semua terjadi, Lintang duduk di bangku halaman, memegang pena, dan mengingat ucapan ibunya tentang rembang.
Ia memutuskan untuk menulis bukan untuk hari yang sudah direncanakan, tetapi untuk hari ketika semua orang siap mendengar, bukan ketika ketakutan mendesak atau keadaan memaksa. Ia menulis surat pendek yang meminta izin menunda acara satu minggu, bukan karena enggan tetapi karena ingin memilih momen ketika penonton bisa tenang, ketika lahan kering dan wajah-wajah bisa mengangkat mata tanpa terganggu. Ada keberanian lembut dalam penantian itu. Bukan penundaan yang membiarkan masalah menumpuk, melainkan penantian yang memberi ruang agar pesannya bisa ditangkap seutuhnya.