Mohon tunggu...
Radityo Kusumo
Radityo Kusumo Mohon Tunggu... Freelancer - Writer and Photographer

Go Right on the Right Thing

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Trotoar, Menjadi Polemik atau Solusi?

11 Oktober 2017   15:07 Diperbarui: 31 Mei 2019   13:30 2369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadikan rakyatnya hidup nyaman dan aman adalah tugas negara untuk melaksanakannya. Kenyamanan ini menjadi tolok ukur untuk bisa melihat bangsanya sejahtera atau tidak. Dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, hendaknya negara yang dalam hal ini adalah pemerintahan membuat suatu solusi agar rakyatnya merasakan kenyamanan tersebut. Trotoar salah satunya. Dalam data yang diambil olehTirto.id menyatakan bahwa 90% trotoar di negara ini tidak layak untuk penjalan kaki. Pertanyaan terlintas, mengapa fasilitas penting ini tidak menjadi fokus utama pemerintah agar masyarakatnya bisa hidup lebih nyaman?

Beberapa waktu yang lalu, saya mengamati bagaimana trotoar itu benar-benar beralih fungsi menjadi lahan yang tidak khusus untuk pejalan kaki, seperti contohnya trotoar yang berada di jalan Babarsari seberang J-Walk. Trotoar juga menjadi lahan untuk pedagang kaki lima meraup keuntungan dengan merampas hak pejalan kaki, celakanya lagi, trotoar dijadikan lahan parkir taksi dan beberapa pengendara motor. Melihat kejadian ini merenggut simpati saya untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Seperti yang dilansir oleh Tirto.id dalam akun instagramnya, saya menemukan sebuah data yang menyatakan bahwa 90% fasilitas untuk pejalan kaki di Indonesia tidak layak pakai, banyak jalan yang berlubang dan berbatu, kondisi trotoar yang sudah tak layak pakai ini ditambah lagi dengan pedagang kaki lima yang menjadi penghalang jika pejalan kaki ingin melewati jalan tersebut, sehingga menyebabkan masyarakat ini tidak mau untuk jalan kaki. 

Jika masyarakat sudah tidak mau untuk berjalan kaki, transportasi umum adalah jalan keluarnya, namun bisa kita amati bagaimana kondisi transportasi umum kita, selain kenyamanan dan keamanan yang tidak ada, rute kendaraan umum juga sedikit, atau bahkan tidak sampai hingga masuk ke pedalaman, banyak bahkan dalam hal keamanan, masyarakat mengalami banyak kejadian seperti pencopetan, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi, hal ini yang semakin memperumit masyarakat untuk bisa merasakan kenyamanan dan keamanan di negeri sendiri. 

Melihat polemik ini akhirnya jalan keluar satu-satunya adalah membeli kendaraan pribadi. Jika seluruh masyarakat yang tidak mau jalan kaki ini membeli kendaraan pribadi, yang terjadi adalah membludaknya alat transportasi di negara ini, dan menyebabkan polusi serta kemacetan yang tak terbayangkan padatnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Melihat hal ini saya kembali mundur kebeberapa waktu yang lampau, untuk melihat sejak kapan orang Indonesia memiliki budaya semacam ini. Setelah saya melihat-lihat ternyata sejak tahun 1998 yang mana Presiden kedua Indonesia meliberalisasi kendaraan pribadi agar masyarakat tidak lagi memilih jalan kaki menjadi opsi. Sejak saat itulah banyaknya kendaraan pribadi dan umum merajalela jalanan dan meminggirkan masyarakat yang hendak berjalan kaki.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Namun bukan tidak ada solusi untuk hal ini, saat ini telah banyak komunitas yang mengkampanyekan untuk mengajak kembali masyarakatnya berjalan kaki. Untuk menemukan solusi ini saya bertemu dengan Valentina Wiji, seorang pengamat publik yang kritis terhadap fenomena-fenomena yang terjadi terhadap masyarakat Indonesia. Saya mencoba untuk berdiskusi dengan mbak Wiji agar dapat  melihat lebih general mengapa masalah trotoar ini khususnya, dan masalah pejalan kaki pada umumnya, seolah tidak mudah diselesaikan.

Membicarakan trotoar jalan sebagai fasilitas publik ini sebenarnya sangat luas cakupannya, ada banyak faktor yang mempengaruhi permasalahan ini muncul, dalam penjabarannya dibagi menjadi 3 lapis, pertama hukum yang melindungi hak pejalan kaki, kedua aparat penegaknya, dan ketiga adalah publik yang dalam hal ini adalah masyarakat pengguna kendaraan bermotor, penyandang disabilitas, selain itu juga PKL yang merenggut hak-hak pejalan kaki. Dalam membicarakan hukum yang melindungi pejalan kaki, mbak Wiji angkat bicara 

"budaya lalu lintas yang manusiawi itu belum ada sampai hari ini, kalau diliat kemudian akarnya, bisa jadi karna penegakkan hukum, hukumnya sudah bagus, dengan lalu lintas segala macam itu, bicara akses juga sudah ada ratifikasi CRPD, tapikan tidak ada penegakkan hukumnya."

Sebenarnya, hukum ini sudah ada dan tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, namun kurang dalam melaksanakannya, jika penegak hukum tidak melaksanakan tugasnya, maka budaya buruk ini akan terus berjalan. Selain itu, pemerintah juga harus fokus selain dalam infrastrukur, juga dalam fasilitas publik yang sangat penting ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun