Di sudut laci tua, tergeletak sebuah jam tangan berwarna perak. Tali kulitnya sudah retak-retak, dan kacanya buram. Setiap pagi, Pak Wiryo membuka laci itu, menatap jam tangan itu lama, tapi tak pernah memakainya lagi.
Itu jam peninggalan anaknya, Bima, yang dulu berjanji akan pulang dari kota setiap akhir pekan. Tapi Bima tak pernah kembali. Sebuah kecelakaan kecil merenggutnya --- dan yang tersisa hanyalah jam tangan itu, masih berdenyut pelan seolah menunggu.
Pak Wiryo tahu, waktu bisa sembuh, tapi tidak pernah benar-benar melupakan. Maka ia biarkan jam itu berdetak sendiri, seperti kenangan yang tak pernah mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI