Mohon tunggu...
Radhite Satria Tegar
Radhite Satria Tegar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada

Menyukai anime, idol group, dan pop-culture Jepang lainnya

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fair Trade dan Digital Traceability: Ekspor Ikan Tuna Indonesia di Pasar Global

27 Februari 2024   00:51 Diperbarui: 27 Februari 2024   00:56 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil Tangkapan Ikan Tuna yang Siap di Ekspor ke Luar Negeri. (Sumber: https://kkp.go.id/)

Indonesia sebagai negara kepulauan tentu menghasilkan sumber daya alam laut yang melimpah. Melimpahnya berbagai macam sumber daya alam laut yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekspor Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia melalui Erwin Dwiyana selaku Direktur pemasaran produk mengungkapkan jika Indonesia adalah penghasil ikan tuna, cakalang, dan tongkol terbesar di dunia dengan memimpin produksi global hingga 15 persen (Mariska Diana, 2022). Meskipun begitu, Indonesia tidak berhasil menjadi eksportir tuna terbesar karena dalam pangsa global hanya menempati urutan keenam dengan 5,33 persen pada tahun 2020. Melihat banyaknya ekspor yang dilakukan Indonesia maka perlu untuk membentuk fair trade agar menghasilkan perdagangan yang menguntungkan semua pihak terlibat. Prinsip-prinsip fair trade dapat terbentuk di Indonesia dengan melakukan implementasi digital traceability sebagai upaya untuk menelusuri rantai pasokan tuna dari dasar yaitu nelayan agar dapat menemukan penyelewengan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.

Urgensi Traceability dan Transparansi dalam Fair Trade

Kebutuhan keamanan dalam industri pangan dunia telah menjadi perhatian yang darurat karena produk pangan lebih rentan dibanding produk lain, terutama bagi komoditas perikanan dan hasil olahan laut. Hal tersebut dikarenakan kurangnya transparansi dalam Global Value Chains (GVC) perikanan dan hasil olahan laut. Akan tetapi, kurangnya transparansi tersebut membentuk inovasi baru berupa sistem traceability yang menjadi sarana mendapatkan hak-hak untuk mengetahui segala hal tentang produksi, proses, dan perdagangan perikanan dan hasil olahan laut (Doddema et al., 2020). Regulasi mengenai kewajiban sertifikasi traceability telah diatur dalam beberapa dokumen seperti sertifikasi British Retail Consortium (BRC) dan aturan publik seperti regulasi Uni Eropa tentang illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing (Nasution et al., 2023). Amerika Serikat juga memiliki Seafood Import Monitoring Program (SIMP) pada tahun 2018 dan program sertifikasi Marine Stewardship Council dan Fair Trade USA yang mewajibkan produk untuk bersertifikat dari panen hingga ritel sebagai upaya traceability (Roheim & Zhang, 2018).

Mengikuti perkembangan zaman tentu membuat proses traceability juga harus ikut berkembang dengan melakukan upaya digitalisasi. Digitalisasi traceability dapat bermanfaat untuk meningkatkan sistem pemantauan dan pemeriksaan data produk sebagai bentuk investigasi, inspeksi, dan pengawasan terhadap industri, termasuk industri perikanan tuna yang mayoritas di Indonesia masih manual (Pratiwi et al., 2021). Hal tersebut juga sangat terkait dengan kondisi traceability saat ini dan di Indonesia. Sistem traceability saat ini lebih mengarah ke tujuan untuk menyampaikan informasi dari tahapan tangkapan hingga konsumsi dan di Indonesia dapat dikatakan masih minim hukum tentang traceability dalam industri pangan Indonesia sejak dulu (Doddema et al., 2020; Nasution et al., 2023). Digital traceability dapat menjadi solusi untuk mengintegrasikan tata kelola terkait keamanan pangan industri tuna Indonesia sehingga prinsip-prinsip fair trade dapat diimplementasikan karena melihat dari masifnya ekspor tuna Indonesia.

Ekspor Tuna di indonesia

Pada tahun 2016, jumlah tuna yang berhasil ditangkap di Indonesia mencapai 670.000 ton dan pada tahun 2017 mencapai 598.000 ton berdasarkan data dari laporan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) (Sugandhi, 2019). Hal tersebut membuat Indonesia berhasil mencapai posisi keenam sebagai eksportir tuna terbanyak di dunia. Indonesia juga memiliki jumlah kapal penangkap tuna hingga 130.000 kapal, akan tetapi terdapat 38% produk tuna dan hasil laut Indonesia lainnya yang sampai ke pasar utama seperti AS diperkirakan berasal dari sumber ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diregulasikan (Djelantik & Bush, 2020). Kondisi tersebut dapat terjadi karena kegiatan penangkapan ikan tuna untuk ekspor Indonesia dilakukan dalam skala kecil oleh nelayan-nelayan kecil yang menyebabkan tidak adanya informasi mengenai peraturan internasional perikanan tentang IUU Uni Eropa dan AS (Halim et al., 2019). Dampak yang diberikan menimbulkan keprihatinan dan bentuk kriminalitas bagi para nelayan kecil karena mengeluarkan mereka dari aktivitas ekspor komoditas ikan tuna di pasar global. Berdasarkan latar belakang kondisi tersebut menunjukkan jika prinsip fair trade sulit untuk diimplementasikan karena sejak dari awal sudah ada pihak yang dirugikan.

Implementasi Fair Trade

Implementasi prinsip fair trade di industri perikanan tuna Indonesia menemui berbagai tantangan. Tentu tantangan yang muncul dapat dikatakan terpengaruhi oleh IUU Fishing memberikan banyak kerugian karena memungkinkan nelayan tuna Indonesia yang jujur dan bertanggung jawab kalah bersaing dengan nelayan Indonesia dan luar yang melakukan tindakan ilegal. Terlebih lagi, untuk membentuk lingkungan fair trade membuat para pedagang yang terlibat dalam aktivitas supply chain perikanan tuna perlu untuk mematuhi Fair Trade USA Trade Standard agar memperoleh sertifikasi fair trade AS (Borland & Bailey, 2019). Tujuan dari sertifikasi tersebut agar menawarkan perlindungan bagi konsumen dalam transaksi sehingga perlu adanya traceability sebagai upaya melindungi konsumen.

Permasalahan lain yang timbul yaitu proses produksi untuk ekspor tuna Indonesia yang tidak bersifat inklusif bagi para nelayan kecil. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa para nelayan tuna kecil telah disingkirkan dari aktivitas ekspor pasar global yang membuat mereka seperti dikriminalisasi oleh pihak tertentu sehingga melanggar prinsip fair trade. Hal tersebut dapat terjadi karena minimnya informasi yang mereka peroleh sehingga membuat tidak adanya penerapan prinsip perdagangan yang adil terlebih adanya perbedaan akses yang diterima. Buruknya tata kelola yang diatur oleh swasta menjadi permulaan dari masalah tersebut karena tidak adanya transparansi dalam perdagangan sehingga menimbulkan IUU fishing dalam tingkat tinggi dan penangkapan ikan yang berlebihan (Djelantik & Bush, 2020). Berdasarkan latar belakang tersebut membuat digital traceability harus mulai diperkenalkan untuk melacak penangkapan ikan yang legal kepada pembeli di perdagangan global ikan tuna.

Efektivitas Digital Traceability dalam Industri Ikan Tuna Indonesia

Implementasi digital traceability dapat menjadi solusi bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan akses yang setara untuk berbagai kalangan yang terlibat dalam industri ikan tuna. Escalante (2022) menyebutkan jika implementasi sistem digital dalam traceability dapat memberikan estimasi waktu yang jelas tentang proses produksi dan distribusi produk sehingga membuat para pihak yang terlibat memperoleh informasi penting yang sama dari mitra komersial mereka. Hal tersebut menjadi perwujudan dari terciptanya market fairness sehingga membuat fair trade dapat terbentuk dan berjalan. Selain itu, melalui digital traceability dapat menjadi upaya untuk menghubungkan para nelayan kecil yang tersingkirkan dari perdagangan internasional agar bisa langsung berhubungan dengan calon konsumen karena kebutuhan konsumen tentang traceability dan transparansi terpenuhi. Oleh karena itu, digital traceability dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan dengan cepat dapat menemukan penyimpangan dalam proses menuju ekspor ikan tuna melalui teknologi blockchain. Model teknologi blockchain dimanfaatan untuk memberi keamanan, transparansi dan kemudahan akses kepada para aktor yang terlibat dalam perdagangan (Afrianto et al., 2020). Keberadaan model teknologi tersebut dalam supply chain industri perikanan seperti tuna menunjukkan bahwa setiap aktor yang terlibat dalam perdagangan domestik maupun internasional saling berkorelasi. Kondisi tersebut memperlihatkan bagaimana prinsip-prinsip fair trade dapat terbentuk dalam industri ekspor ikan tuna Indonesia melalui implementasi dari digital traceability.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun