"Pancasila bukan sekadar teks yang kita hafalkan, melainkan nafas hidup yang menuntun rasa, nalar, dan kehendak bangsa untuk tetap berdiri bersama."
Setiap 1 Oktober kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal ini lahir dari sejarah kelam bangsa: peristiwa 30 September 1965, ketika ada upaya mengguncang fondasi negara dengan kekerasan. Namun bangsa ini tetap berdiri. Pancasila terbukti sakti---tidak tergoyahkan oleh ancaman apa pun. Bung Karno pernah mengingatkan, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah." Maka setiap kali kita memperingati hari ini, kita tidak sekadar bernostalgia, melainkan merenung: bagaimana Pancasila harus hidup dalam diri kita sekarang?
Tema tahun 2025, "Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya", terasa sangat kontekstual. Kita hidup di zaman ketika wajah Indonesia tidak selalu indah. Kita melihat demonstrasi yang kadang berujung anarkis dengan perusakan fasilitas publik. Kita mendengar kabar korupsi yang masih merajalela, bahkan di lembaga yang seharusnya jadi teladan. Kita menyaksikan partai politik yang berdebat dengan nada kasar, saling menghujat di layar televisi. Kita merasakan hukum yang sering kali tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Di tengah kenyataan seperti itu, kita bertanya: apakah Pancasila masih hidup, atau hanya tersimpan di buku pelajaran dan naskah upacara?
Menyapa Pancasila dalam Kehidupan Kekinian
Lima sila Pancasila bukanlah hiasan, melainkan penuntun hidup. Mari kita lihat dalam konteks situasi bangsa saat ini.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama mengingatkan bahwa iman seharusnya melahirkan kasih dan kerendahan hati. Namun kadang agama dipakai sebagai alat politik, bahkan jadi pemicu perpecahan. Padahal, seperti pernah ditegaskan Mohammad Hatta, "Pancasila bukan untuk satu golongan, melainkan untuk semua." Nilai ketuhanan yang sejati mestinya menghadirkan cinta, bukan kebencian.Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kita masih sering melihat kekerasan dalam demonstrasi, atau orang yang diperlakukan tidak adil. Sila kedua mengajak kita menempatkan sesama sebagai manusia, bukan musuh. B.J. Habibie pernah berpesan, "Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup." Itulah makna kemanusiaan yang sejati---perpaduan antara kasih dan akal sehat.Persatuan Indonesia
Sila ketiga menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan. Tetapi faktanya, perbedaan suku, agama, atau pilihan politik sering jadi jurang perpecahan. Dialog politik pun kadang berubah jadi arena saling ejek. Padahal Bung Karno sudah berkata, "Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan." Indonesia hanya bisa tegak jika kita memilih bersatu, bukan tercerai-berai.Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Musyawarah seharusnya jadi roh demokrasi. Sayangnya, kita sering melihat politik yang sarat transaksi, bukan kebijaksanaan. Yang muncul bukan hikmat, tapi perebutan kursi. Sila keempat mengingatkan: musyawarah adalah jalan menemukan kebijaksanaan bersama, bukan arena saling menjegal.-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!