Saya tidak tinggal di asrama. Saya tinggal di rumah, seperti kebanyakan orang tua. Tapi setiap hari, saya bekerja di sebuah sekolah berasrama---sebuah tempat di mana anak-anak belajar hidup dalam keteraturan, kedisiplinan, dan yang menarik: keterbatasan akses digital.
Di sekolah berasrama in, anak-anak tidak diizinkan membawa ponsel pintar. Mereka hanya diperbolehkan memiliki HP monokrom, itupun sebatas untuk alat komunikasi darurat. Laptop hanya boleh digunakan pada jam-jam tertentu, lalu harus diserahkan kembali ke pamong asrama. Bagi sebagian orang, aturan ini mungkin terdengar kaku, bahkan kolot. Tapi benarkah pembatasan ini sesuatu yang harus kita tolak mentah-mentah?
Kontras Dua Dunia
Setiap hari saya menjadi saksi dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dunia para siswa asrama yang belajar, bermain, berdiskusi, dan tumbuh tanpa gawai di tangan. Sebuah pemandangan yang kini terasa langka di era serba digital ini.
Memang, di awal masa adaptasi, keluhan terdengar dari sana-sini. Ada yang bosan, ada yang diam-diam berusaha mencari "jalan pintas" untuk tetap terkoneksi. Namun perlahan, keluhan itu berubah menjadi keasyikan. Mereka mulai kembali menikmati kegiatan sederhana yang selama ini hampir hilang: membaca buku, bermain bola di lapangan, membuat prakarya, hingga menulis surat tangan untuk orang tua mereka. Ada kehangatan dan kejujuran yang terpancar dari interaksi sehari-hari mereka.
Sebaliknya, kehidupan saya di rumah berbicara lain. Sebagai orang tua, saya melihat bagaimana anak saya begitu lekat dengan dunia digital. Waktu makan menjadi sunyi. Percakapan menjadi minim. Nasehat kadang hanya terdengar seperti suara lewat yang menguap tanpa bekas. Saya pernah menegur, membatasi, marah, bahkan akhirnya menyerah dalam diam. Tetapi perlahan saya sadar, ini bukan hanya soal anak yang tidak patuh, ini tentang zaman yang bergerak begitu cepat, dan kita yang kadang tertinggal mengikutinya.
Tantangan Zaman Digital
Kita hidup di tengah era di mana segalanya serba cepat, serba instan, serba terhubung. Teknologi telah mengubah hampir semua aspek kehidupan: cara bekerja, cara belajar, cara berkomunikasi, bahkan cara kita membangun relasi dan mencintai.
Di satu sisi, teknologi membawa kemudahan yang luar biasa. Namun di sisi lain, ia membawa tantangan besar---terutama dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anak kita yang masih rapuh fondasi jiwanya. Mereka masih mencari arah, belajar memilah informasi, dan belum memiliki daya tahan terhadap derasnya arus notifikasi, viralitas, dan dunia maya yang tiada henti menawarkan distraksi.
Di sinilah saya belajar bahwa kehadiran kita, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional menjadi kebutuhan yang jauh lebih penting daripada sekadar membuat aturan.