Hujatan dan Sambutan Pernyataan Donald Trump terkait LGBQT+
Pada upacara pelantikan Presiden Amerika Serikat bulan lalu, Donald Trump membuat keputusan yang mengejutkan dunia dengan menandatangani perintah eksekutif yang langsung memicu kontroversi besar. Dalam perintah ini, pemerintah federal secara eksplisit hanya mengakui dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Kebijakan Trump yang membatasi pengakuan gender di Amerika ini sangat mengejutkan, mengingat Amerika Serikat sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama hak-hak kelompok LGBTQ+ (Lesbian Gay Biseksual Transgender Queer). Negara yang selama ini menjadi simbol perjuangan kesetaraan ini seakan mundur dari nilai-nilai inklusi yang pernah diperjuangkan. Lebih lanjut, Trump menghapus berbagai program keberagaman dan inklusi yang telah dibangun dengan susah payah, yang menunjukkan bahwa hanya dua kategori tersebut yang sah di masyarakat, tanpa ruang bagi identitas lain.
Keputusan ini tidak hanya memicu ketegangan politik dalam negeri Amerika, tetapi juga memicu kecaman internasional. Banyak yang berpendapat bahwa kebijakan ini bisa memperburuk ketidaksetaraan sosial dan menciptakan ketidakadilan bagi komunitas LGBTQ+ di seluruh dunia. Namun, ada juga kelompok yang menyambut kebijakan ini, terutama mereka yang menentang pengakuan kelompok LGBTQ+, yang melihatnya sebagai langkah untuk mengembalikan "nilai-nilai tradisional" yang dianggap hilang dan untuk menegakkan norma-norma moral dan sosial yang telah lama ada.
Keputusan ini menimbulkan pertanyaan penting bagi Indonesia yang kini berada di bawah tekanan komunitas internasional untuk lebih inklusif dan memberi ruang lebih banyak pada kelompok LGBTQ+ dalam rangka menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Terkait kebijakan Trump, Indonesia kini dihadapkan pada dua pertanyaan: pertama, apakah Indonesia harus mengeluarkan kebijakan yang menolak adanya jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan? Kedua, apakah Indonesia tetap harus mendukung inklusivitas yang memberi ruang bagi berbagai identitas gender, mengingat kewajiban internasional di bidang HAM?
Tulisan ini berusaha menjawab kedua pertanyaan tersebut dari perspektif hukum HAM internasional, dengan menganalisis kebijakan Trump berdasarkan prinsip-prinsip HAM Universal dan hukum internasional terkait. Analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi Indonesia dalam menentukan langkah terbaik untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib, berkeadilan, dan menghormati HAM.
Pro dan Kontra Eksistensi LGBTQ+
Isu LGBTQ+ masih menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, termasuk di kalangan aktivis HAM. Pendukung hak-hak LGBTQ+ berargumen bahwa pengakuan identitas gender dan orientasi seksual adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Mereka menekankan bahwa diskriminasi terhadap kelompok ini adalah pelanggaran HAM, dan mereka menuntut perlakuan serta pengakuan yang setara, baik secara sosial maupun hukum. Dalam konteks keluarga, pasangan sesama jenis memperjuangkan hak adopsi anak, dengan alasan bahwa yang lebih penting daripada jenis kelamin orang tua adalah lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang bagi anak. Di dunia pendidikan, kurikulum inklusif dianggap penting untuk mengurangi perundungan dan meningkatkan pemahaman tentang keberagaman, agar anak-anak LGBTQ+ merasa diterima di sekolah.
Namun, kelompok masyarakat yang menentang keberadaan LGBTQ+ melihatnya sebagai ancaman terhadap nilai-nilai moral dan sosial mereka. Mereka meyakini bahwa eksistensi kelompok ini disebabkan oleh penyimpangan seksual atau sosial dan bahkan dianggap sebagai penyakit sosial yang merusak tatanan masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa pengakuan lebih dari dua jenis kelamin bisa membingungkan anak-anak dan merusak konsep keluarga heteronormatif yang dianggap alami dalam masyarakat berbudaya luhur. Dari segi kesehatan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelompok LGBTQ+ memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan mental, penyalahgunaan zat adiktif, dan penyakit menular seksual. Dalam pendidikan, ada kekhawatiran bahwa mengajarkan keberagaman gender di sekolah dapat "mempromosikan" gaya hidup LGBTQ+.
Perdebatan ini menunjukkan gap yang besar antara hak individu kelompok LGBTQ+ dan nilai sosial serta moral yang diyakini masyarakat. Pengakuan atau penolakan terhadap hak LGBTQ+ sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat menerima atau menolak nilai-nilai sosial tersebut. Semakin tinggi nilai moral yang dianut, semakin besar penolakan terhadap eksistensi LGBTQ+. Berdasarkan asumsi ini, apakah kebijakan Trump melanggar HAM?