Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Presiden Gus Dur pun Pernah Merasakan Gigitan 'Bangsat'

20 September 2016   11:05 Diperbarui: 20 September 2016   11:17 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi kami yang pernah merasakan tinggal di pesantren, tentu kehidupan remaja yang kami alami berbeda dengan remaja kebanyakan yang pada usia pubertas asik belajar, bermain dan bermain. Kehidupan di alam pesantren (yang berasrama) membuat hidup kami tak jauh dari kamar, sumur, lapangan bola (bermain) dan sekolah. Tak lebih. Kami yang pernah nyantren tentu jarang berhubungan dengan dunia luar. Tak ubahnya seperti lapas, hidup kami terkungkung di kelilingi tembok, meskipun ada pula pesantren tradisional yang tidak berpagar dan berbaur dengan lingkungan masyarakat lokal di suatu dusun (kampung).

Kehidupan kami tak beda dengan pendidikan yang dijalani sebagian remaja terpilih dari seluruh Indonesia yang mengikuti pendidikan militer atau Akademi Militer, yang terkontrol 24 jam dengan beragam aturan, kebiasaan, dan tingkah laku yang terprogram, terstruktur dan tersistem. Bahkan, untuk urusan busana dan bicara pun kami punya aturan. Boleh dibilang semua aturan yang ada dan dibuat oleh pimpinan itu tidak enak. Makan hati. Namun tujuan aturan itu tentu baik, yakni agar kami bisa menghadapi bekal hidup kedepannya. Agar jiwa dan kepribadian kami tertempa dengan baik.

Diantara teman-teman saya sekampung sepermainan, selepas sekolah dasar, hampir 60 persen diantara kami diutus atau dikirim orang tuanya ke pesantren. Kebanyakan dikirim ke luar kota Jakarta. Tujuannya tentu agar jauh dari rumah dan jarang pulang. Menurut orang tua kami, bila keseringan pulang, takutnya kami kena pengaruh ‘angin’ Jakarta yang jelek. Jadilah, kami dikirim ke Jawa Timur atau ke paling dekat ke jawa Barat (Cirebon, Tasik, dsk). Lantaran jauh, kami hanya pulang setahun sekali pas mendekati hari raya lebaran.

Oh ya, beragam latar belakang dan status sosial teman-teman saya yang nyantren. Ada yang orang tuanya dagang di pasar, ada pula yang jadi makelar tanah atau pegawai kantoran. Meski pekerjaan orang tua kami beragam, namun kami semuanya berlatar belakang keluarga yang taat akan ajaran agama. Kami Islam (titik), dalam arti memperoleh ajaran Islam dari ulama-ulama dimana mereka berguru yang ajarannya bersanad (menyambung) hingga ke Rasulullah SAW. Sehingga dalam masalah pemahaman keagamaan ketika awal nyantren, praktis diantara kami tidak mengalami ‘jetlag’. Semuanya seragam, tak ada yang nganut ajaran agama islam yang ‘aneh-aneh, seperti dari golongan islam Liberal, apalagi islam Nusantara. Naudzublillah..

Selepas pesanteren yang di tempuh rata-rata selama 6 (enam) tahun, kami mulai melanjutkan pendidikan ke berbagai bidang. Ada yang ikutan UMPTN dengan harapan dapat nerusin kuliah di PTN ternama, adapula yang memilih jalur biasa, dikatakan biasa karena basis kami berlatar belakang pendidikan agama, maka kuliahnya pun ke bidang agama, yakni ke Institut Agama Iislam Negeri/IAIN era tahun 90-an (sekarang UIN) atau ke Universitas berbasis keagamaan seperti Universitas Muhammadiyah dan sebagainya. Bahkan ada pula dintara kami yang ke luar negeri, biasanya mereka dari keluarga yang kaya raya, punya kontrakan (property) banyak dan sawah yang lebar. Arab Saudi, dan Negara di kawasan Timur Tengah lainnya, atau ke Mesir adalah tujuannnya. Dan, bagi yang berasal dari keluarga yang ‘kismin’ biasanya selepas pesantren mereka tak kuliah dan memilih mengajar agama atau jadi guru ngaji di kampung mereka.

Nah, barulah setelah menginjak bangku kuliah jejak dan langkah mereka mulai sulit terlacak. Ini lantaran kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Sibuk dengan kegiatan dan aktivitas yang baru, yang berbeda dengan dunia pesanteren. Aktivitas kampus tentu beda dengan pesantren. Di kampus kehidupan kami lebih hetrogen. Pergaulan pun berbeda.

Hatta, sampailah masa dimana kami telah tumbuh dewasa, telah lulus kuliah, kerja dan berkeluarga. Mulailah muncul satu dua nama-nama yang dulu aku kenal yang kembali mampir ke ingatanku. “Ohh.. ternayata dia sekarang di situ, ohh.. ternayata si Fulan di sana.” Begitu biasanya aku berguman tatkala tahu langkah dan pengabdian selanjutnya dari teman-temanku selepas kuliah.

Mereka yang tamatan dari pesantren lalu kuliah tersebar dalam beragam ladang pengabdian. Kebanyakan mereka menjadi guru agama. Menjadi ustaz, ngajar ngaji. Bila dia pintar, tentu derajat atau maqomnya tak sekadar ustaz namun menjadi Kyai. Sebagian kecil ada yang jadi PNS, ada pula yang dagang atau berwirasawasta, bahkan tak sedikit pula yang jadi tukang ojek pangkalan. Yang kerjaannya luntang lantung gak jelas pun banyak. Pagi ada di rumah, siang ke pangkalan, sore entah kemana, dan malam baru sampai rumah. Ada juga yang -karena ketokohannya- diangkat jadi Ketua RT atau RW. Ya, lumayan juga, eksistensinya diakui oleh warga masyarakat, hehe..

Meski demikian, lulusan pesantren jangan lah dipandang sebelah mata. Ada banyak dari mereka yang tampil dan sukses berkiprah dalam tataran global (internasional). Abdurrahman Wahid, misalnya, putra Kyai Haji Wahid Hasyim yang pernah jadi Presiden ini adalah jebolan dunia pesantren. Begitu pun dengan beberapa menteri dan pejabat tinggi negara pernah merasakan getirnya hidup di pesantren. AM Fachir yang menjabat wakil Menteri Luar Negeri, misalnya, adalah PNS karier yang jebolan pesantren. Begitupun pimpinan lembaga tinggi Negara MPR(S) yakni Idham Chalid dan Hidayat Nur Wahid juga alumnus pesantren. Kalau rajin menyisir tentu masih banyak lagi keluaran pesantren yang sukses berkiprah dan berkarier baik di swasta maupun pemerintahan.

Itulah mereka-mereka yang pernah merasakan gigitan nyamuk dan bangsat di pesantren, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak peduli jadi orang atau hanya luntang lantung gak jelas, namun sekecil apapun kontribusi mereka, yang jelas mereka kebanyakan orang baik-baik dan gak nyusahin, minimal untuk diri mereka dan keluarga mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun