Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyingkap 5 Tahun Pertama Usia Pernikahan

4 Januari 2017   10:43 Diperbarui: 4 Januari 2017   10:48 9577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi pasangan yang baru menikah, atau yang kita sebut pengentin baru, saat-saat awal pernikahan merupakan moment yang penuh dengan kebahagian. Segalanya indah. Aktivitas berkasih sayang, misalnya, boleh dibilang selalu rutin dilakukan, persis seperti minum obat, 3 kali dalam sehari. Itulah yang lazim kita sebut sebagai masa bulan madu. Praktis tidak ada gejolak dan keributan diantara mereka. Semuanya selalu terasa indah. Nah, seiring perjalanan waktu, madu pun habis, yang ada tinggal sepahnya saja. Saat usia pernikahan beranjak memasuki usia 1 tahun mulai lah kejenuhan terjadi. Yang tadinya saling memanggil dengan panggilan sayang, berubah menjadi hanya panggilan nama. Yang tadinya selalu memperhatikan dan mengingatkan, berubah menjadi mengabaikan. Mulailah terjadi letupan-letupan kecil. Masalah sepele bisa berubah menjadi besar. Bagi kita yang sudah/pernah menikah, tentu pernah mengalami hal seperti itu khan?

Saat saya hendak menikah, Udin Sarap, panggilan akrabku kepada sepupu yang bernama Safrudin ini, memberikan sedikit gambaran tentang lika-liku dan suka duka hidup berumah tangga. Lantaran ia adalah abang sepupuku, maka nasehatnya tentang pernikahan mau tak mau saya perhatikan dengan sungguh-sungguh. Ia, yang lebih dahulu menikah ketimbangku, dan kini telah mempunyai empat orang anak yang sudah beranjak dewasa, tentu telah kenyang makan asam garamnya pernikahan.

Diantara point penting obrolan ringan kami dengan suguhan pisang goreng dan kopi panas, buatan Mpo’ Mumun, istrinya, yang kuingat ialah tentang 5 tahun pertama usia pernikahan. Menurut Udin Sarap, sama seperti balita, maka usia pernikahan 5 tahun pertama boleh dibilang usia rawan. Beragam masalah yang sepele bisa menjadi besar. Belum punya anak, misalnya, jadi bahan cela’an dan beban yang tak ada habis-habisnya.

Menurut Udin Sarap, boleh dibilang pada masa-masa itu adalah rentang waktu yang genting dalam berumah tangga, bila lulus melaluinya, maka kesana-sananya akan lancar. Saya, yang memang belum pernah menikah sebelumnya, rada kaget juga dengan warningyang ia ungkapkan. Kenapa harus lima tahun pertama? Ada apa dengan lima tahun pertama itu? Akhirnya, setelah saya menjalani pernikahan yang telah menginjak satu dasawarsa ini, barulah saya ngeh betapa pentingnya mencermati 5 tahun pertama ini.

Oh ya, perlu diketahui bahwa dari pengamatan yang pernah saya lihat, dengar, dan tonton, ada beberapa orang atau teman dekat saya yang gagal dalam membina hubungan rumah tangga. Dan menariknya, kegagalan mereka itu (baca: perceraian) terjadi pada usia pernikahan di bawah 5 tahun. Benar juga apa yang diomongin Si Udin Sarap, batinku. Oke, lantaran saya sudah khatam dan melalui 5 tahun pertama itu, saya akan berbagi kisah dan analisa mengapa 5 tahun pertama dalam pernikahan itu bernilai penting dan strategis bagi perkawinan seseorang. Ada beberapa faktor yang meyebabkan itu terjadi.

Pertama, 5 tahun pertama adalah masa dimana pasangan suami istri itu belum mapan. Karena mereka baru menikah dan masih berusia muda, (rata-rata menikah dibawah usia 30 tahun) maka kemapanan secara ekonomi pun masih minim. Pendapatan bulanan hanya cukup untuk makan berdua, dan itu pun pas-pas-an tanpa mampu ber-saving. Bila salah satu pasangan menuntut gaya hidup mewah, dan tidak mau tahu dengan kondisi ekonomi yang ada, tentu akan merepotkan pasangannya. Bila ini tidak di-adjust dengan baik dan bijak, maka jangan kaget bila muncul konflik-konfik kecil diantara mereka.

Kedua, belum punya rumah dan masih gabung/tinggal dengan orang tua atau mertua. Kalian tentu pernah merasakan dong suka dukanya tinggal dan hidup serumah dengan orang tua atau mertua. Ada plus minusnya. Ada enak dan kagaknya. Ya, kalau banyakan enak ketimbang kagaknya mungkin tak masalah, namun bila sebaliknya, yang saya istilahkan banyakan makan hati, ketimbang daging, tentu menjadi problem tersendiri. Bagi mereka yang tidak bisa mengelola plus minusnya tinggal di rumah mertua, tentu akan menimbulkan konflik tersendiri. Bila tinggal dengan mertua/orang tua, yang sering terjadi ialah istri berkonflik dengan mertua perempuan. Atau, bisa pula suami berkonflik dengan mertua laki-laki. Si Suami yang dinilai oleh sang istri lebih condong atau sayang ke ibunya ketimbang dia. Nah, hal-hal inilah yang bisa menjadi benih pertengkaran diantara mereka, suami istri.

Ketiga penyatuan dan adaftasi dari dua karakter yang berbeda. Sifat dan karakter asli yang tidak bisa diterima dengan baik oleh pasangan, seperti kebiasaan bangun siang; Tidur selalu mendengkur; Merokok dalam kamar; Tidak membuatkan kopi/teh pada pasangan; Cemburu berlebihan; Boros; Suka keluyuran atau begadang, ataupun perilaku negatif lainnya dari pasangan  yang baru muncul justru setelah menikah.

Keempat, belum punya anak. Bagi mereka yang ingin segera memiliki momongan, setelah menikah tentu ingin segera punya anak. Nah, setelah 2, 3 hingga 4 tahun pernikahan kokbelum ada tanda-tanda hamil bagi si istri. Kondisi ini tentu menjadi tanda tanya. Kok istri belum hamil, apa yang salah. Disatu sisi orang tua/mertua juga ingin cepat-cepat memomong cucu. Timbulllah rasa curiga jangan-jangan salah satunya mandul atau tidak bisa membuahi. Nah, mulailah timbul riak-riak kecil yang menggangu keharmonisan rumah tangga yang bisa berakibat perceraian.  

Kelima sudah atau terlalu cepat punya anak. Dilalahnya mereka justru belum mau punya anak. Akibatnya dalam pola pengasuhan dan pendidian anak mereka belum siap, mereka belum faham dalam mendidik dan mengurus anak. Celakanya, masalah (kehadiran) anak ini justru menyulut potensi perceraian. Masing-masing pihak menyalahkan yang lain dalam mengasuh dan mendidik anak.

Itulah sekilas gambaran dan analisa saya mengapa 5 tahun pertama masa pernikahan itu begitu urgent bagi pasangan suami istri. Dan yang perlu diingat adalah meski kita akan menghadapi kondisi kegentingan dan kerawanan di 5 tahun pertama itu, hindarilah perkataan “cerai”. Bila kita sukses melaluinya, niscaya kita akan mudah untuk menjalani etape-etape berikutnya dalam mengarungi bahtera rumah tangga, semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun