Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelisik Motif Mereka yang Anti 212

5 Desember 2016   11:50 Diperbarui: 5 Desember 2016   12:03 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebenarnya saya malas mengomentari aksi-aksi yang di-sponsori oleh mereka. Buat apa juga ngebahas kelakuan dan polah mereka, gakpentingbanget. Namun setelah berkontemplasi sejenak, tampaknya ada pertimbangan lain yang mesti saya kedepankan yakni minimal tulisan ini sebagai legacy yang kelak akan dibaca oleh anak cucu saya.

Sejujurnya selama saya berada di Indonesia sejak tahun 76 -dan belajar tentang sejarah indonesia- belum pernah saya jumpai, kita, bangsa Indonesia, dapat berkumpul dan bersilaturahim antar anak bangsa sebagai pemilik sah republik ini dalam jumlah yang sangat besar, selain pada tanggal 02 Desember 2016.

Sejarah yang pernah saya baca mencatat bahwa berkumpulnya masyarakat Jakarta dalam jumlah besar pernah terjadi saat Bung Karno, usai mempermaklumkan kemerdekaan Indonesia, berpidato di Lapangan Ikada (Monas) pada 19 September 1945. Rapat ini diinisiasi oleh para pemuda lantaran mereka merasa gregetan dengan tidak atau belum berfungsinya pemerintahan RI secara optimal. Atau, bisa jadi ini karena belum banyak rakyat yang ngeh tentang kemerdekaannya. Dari foto dan film yang terdokumentasikan, saya lihat semua rakyat berkumpul hanya di lapangan Ikada saja, tidak meluber hingga jalan-jalan di sekitarnya. Media saat itu menaksir rapat raksasa itu dihadiri ratusan ribu rakyat.

Peristiwa kedua yang bisa mengumpulkan rakyat banyak pernah terjadi saat gonjang ganjing di tahun 65/66. Pada moment penguburan Pahlawan Revolusi, rakyat berjubel di pinggir-pinggir jalan menyambut iringan jenazah para jenderal korban kebiadaban PKI. Selepas itu, ada aksi-aksi mahasiswa menuntut Tritura. Kejadian ketiga, ialah di tahun 98, saat mahasiswa memelopori reformasi. Namun perlu dicatat, semua peserta demo adalah elemen mahasiswa saja, tidak melibatkan rakyat banyak. Kalaupun ada diluar itu, dipastikan mereka adalah para penyokong gerakan aksi mahasiswa.

Nah, pada aksi tanggal 04 November 2016 lalu, yang dipopulerkan dengan aksi 411, tadinya saya kira itu akan menjadi puncak aksi yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Ya, biasanya selepas aksi pertama yang dilakukan pada tanggal 14 Oktober, maka aksi kedua merupakan titik kulminasi atau titik puncak dari aksi sebelumnya. Dan aksi berikutnya (aksi ketiga) bila dilaksanakan akan terjadi penurunan baik dari segi kuantitas peserta maupun kualitas aksi itu sendiri. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Aksi 411 sangat berbeda ketimbang Aksi 212, baik dari segi jumlah yang mengikutinya maupun dari segi pengorganisasian kegiatan itu sendiri.

Bila dalam Aksi 411 melulu diisi oleh orasi ketidakpuasan dari tokoh-tokoh Islam terhadap penanganan Kasus Si Anu, dan umat (peserta aksi) hanya mendengarkan dengan tekun dan seksama, namun pada Aksi 212 ini muatan isinya beragam: Ada doa; Zikir; Pembacaan Al-Quran; Shalawatan, Orasi Keagamaan; Lalu ditutup dengan Sholat Jum’at. Dan bagi mereka yang mempunyai pikiran waras dan mata tak rabun, maka bisa diklaim bahwa aksi 212 –hingga detik ini- merupakan aksi dengan jumlah massa terbesar sepanjang berdirinya republik ini. Sengaja saya singgung soal kuantitas mengingat ada upaya men-degradasi baik dari segi kualitas maupun kuantitas jumlah peserta yang dilakukan oleh media-media sampah. Tujuan yang hendak mereka bangun, bahwa aksi 212 hanya diikuti oleh segelintir umat Islam dan tidak merepresentasikan umat Islam secara menyeluruh. Sungguh sikap pembodohan yang nyata.

Saya ingin katakan bahwa kita adalah umat pilihan yang terpelajar, beradab, tegas, toleran, dan berdarah ksatria. Mau bukti? Siapa yang sanggup meng-organise kegiatan berskala nasional lantaran diikuti oleh perwakilan dari seluruh daerah di Indonesia, dengan peserta jutaan orang? Sepengetahuan saya, baru Arab Saudi, (level negara) yang sanggup melakukan perhelatan akbar itu saban tahun. Patut di apresiasi bahwa aksi 212 adalah aksi dengan keteraturan dan kedisiplinan yang luar biasa dari umat Islam Indonesia.

Dalam aksi yang melibatkan jutaan orang itu, praktis tidak ada dahan pohon yang patah, tidak ada sampah yang berserakan, tidak ada peserta yang pipis sembarangan, tidak ada perusakan taman-taman kota, bahkan tidak ada orang yang kelaparan. Semuanya senang dan larut dalam kesyahduan dalam berdoa dan bermunajat pada Tuhan. Siapa yang menggerakkan kedisiplinan dan keteraturan ini bila bukan digerakkan oleh Tuhan? Kalau saya konglomerat, rasanya saya akan buat sayembara kepada EO terbaik di dunia, adakah yang sanggup menghadirkan jumlah peserta jutaan, tanpa dibayar, tanpa ada serakan sampah, tanpa ada kerusakan tanaman. Ada yang bisa melakukan itu?

Nah, inilah uniknya bangsaku. Ada saja pihak yang ‘panas’ dan sirik dengan kesuksesan aksi 212 yang dilakukan oleh kita, umat beradab ini. Mereka dengki hati. Lalu, dengan lebay-nya mencoba menandingi aksi kita, dengan meluncurkan suatu aksi dan parade atau apalah apalah. Kenapa saya bilang lebay? Karena sejatinya Indonesia saat ini cukup adem tentram, tidak ada huru hara dan dan kegentingan yang meluluh lantakkan sendi-sendi sosial di Indonesia. Padahal, tidak ada yang salah atau something wrong dengan Indonesia dan kebhinekaan kita, kecuali masalah antara si penista itu dengan umat Islam Indonesia saja. Nah, bila pun ada yang dirasa salah dan perlu diluruskan dalam jalannya keindonesian ini adalah masalah penegakan hukum tanpa pandang bulu dan tebang pilih. Dan itu yang tidak dituntut oleh mereka, si sirik hati. Justru reaksi mereka terhadap aksi-aksi kita adalah provokasi terhadap kebhinekaan itu sendiri.

Maka, agar terkesan di dzalimi (playing victim) mereka selalu membenturkan paradigma minoritas versus mayoritas, selalu menghadap-hadapkan bahwa pihak kita (Islam) adalah anti kebhinekaan, dan mereka adalah pengawal Bhinneka Tunggal Ika. Halloo.. Apakah sekarang ada kerusuhan sosial yang mengoyak kebhinekaan kita? Halllooo... Apakah sekarang terjadi pembantaian etnis seperti yang terjadi di Rohingnya..? Hallooo.. apakah kita (Islam) memburu dan memusuhi kelompok minoritas di Indonesia? (naudzubillahhh, semoga itu dijauhkan) Tidak!! Catat, sejak si Anu menistakan Alquran, tidak pernah sekalipun terjadi kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi di tanah air kita. Tidak ada rumah ibadah atau etnis tertentu yang diburu untuk dihancurkan lantaran si tersangka penista kebetulan beragama dan beretnis tertentu. Kita tahu mana yang salah dan mana yang benar. Tidak mungkin kita membebankan kesalahan yang dilakukan oleh si Anu dengan gebyah uyah bahwa kaum agama dan etnis tertentu juga salah. Kita tidak mengenal dosa dan kesalahan kolektif. Cukuplah Si Anu seorang yang salah.

Sekali lagi catat, umat Islam (sebagai mayoritas) bersama TNI dan Polri adalah berada dalam barisan terdepan pengawal NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Negara ini tetap tegak berdiri karena keinginan kuat dari umat Islam yang mayoritas didalamnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun