Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Menempatkan Peran Mantan Timses?

27 November 2017   08:28 Diperbarui: 27 November 2017   17:01 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum era Reformasi, Indonesia hanya mengenal Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) sebagai pemilihan langsung yang melibatkan seluruh rakyat di suatu desa. Namun kini, tak hanya Kades, dari mulai Presiden RI, hingga Ketua RT pun dilakukan pemilihan langsung. Dan, semenjak itulah kita mengenal apa yang disebut Tim Sukses (Timses) atau Relawan dari pasangan calon pemimpin. Masing-masing kandidat membentuk Timses untuk memastikan agar ia dapat memenangi pemilihan tersebut.

Tak hanya Presiden atau Gubernur, bahkan saat ini, untuk pemilihan level RT dan RW di Jakarta punmasing-masing kandidat pasti memakai jasa Timses. Saya pun pernah menjadi tim sukses salah satu calon, --yang kebetulan kerabat saya--, untuk pemilihan RT di Jakarta. Lantaran jagoan saya menang, sebagai 'imbalannya' saya di dapuk sebagai Sekretaris RT. Ketua RT terpilih rupanya tahu kapasitas saya, dan jabatan itu memang pantas untuk saya emban.

Dulu, --untuk menjadi Gubernur/Bupati/Walikota--, memang kita tak mengenal Tim Sukses (Timses), seperti yang marak akhir-akhir ini. Kalaupun ada Timses, itu hanyalah kumpulan beberapa teman dari Si Kandidat yang bertugas me-lobby'bos besar' agar Si Kandidat dapat ditunjuk menduduki suatu posisi/jabatan. Tim lobby inipun hanya dua atau tiga orang teman dekat kepercayaan Si Kandidat saja. Nah, ketika lobby yang dilakukan gol, sebagai imbalannya, biasanya mereka di tempatkan sebagai staf (penasehat) pribadi Si Pejabat. Sebutannya bisa staf ahli (Menteri/Gubernur/Bupati). Ya, tim lobby memang dibutuhkan lantaran dulu, pemimpin itu ditunjuk dan/atau mereka yang memperoleh restu untuk menduduki jabatan itu.

Yang namanya Timses tentu tugas pokoknya adalah bagaimana memastikan agar jagoannya memenangi pemilihan. Mereka mulai bekerja sejak Si Kandidat secara mantap hati me-nawaitu-kan dirinya untuk ikut ajang pemilihan. Kerja-kerja spartan pun dimulai. Dari kerjaan sederhana, seperti mencetak, mendistribusikan, hingga memasang spanduk dukungan, sampai pekerjaan yang membutuhkan otak dan pemikiran tingkat dewa, seperti menyusun jargon, program, dan janji-janji Si Kandidat yang akan di tuangkan dalam rencana strategi dan aksi yang nantinya akan diwujudkan bila Si Kandidat menang. Semua itu adalah Job-Desk dari Timses.  

Nah, setelah Si Kandidat berhasil memenangkan pertarungan, apakah mereka melupakan Timsesnya? Biasanya tidak. Si Kandidat tentu takkan melupakan peran dan jasa besar Timses-nya. Mereka tak ingin di-cap sebagai kacang yang lupa pada kulitnya. Si Kandidat tentu tidak akan 'membuang' peran, dan hasil kerja keras para Timses, yakni mereka yang banting tulang bekerja tanpa lelah untuk kesuksesan Si Kandidat. Seperti yang dilakukan oleh Jokowi, misalnya. Setelah berhasil memenangi Pilpres RI, maka beliau tidak lupa kepada Timsesnya. Sebagai ungkapan 'terima kasih,' banyak Timses yang ditempatkan pada posisi terhormat, entah itu sebagai menteri, Kepala Lembaga Negara, Duta Besar, ataupun komisaris di berbagai BUMN.

Begitupun yang terjadi pasca Pilkada (Gubernur/Bupati/Walikota). Siapapun yang memenangi Pilkada, maka ia akan mengakomodir kepentingan Timses-nya agar dapat berperan, tidak hanya sebelum dan di saat pemilihan berlangsung, namun juga masa ketika Si Kandidat telah memenangi pemilihan itu. Setelah Si Kandidat menang, maka kerja Timses tidak lantas berhenti, namun terus berlanjut. Tentu dengan misi yang berbeda. Setelah menang, maka misinya adalah bagaimana memastikan janji-janji, program, dan kebijakan Si Kandidat dapat direalisasikan dan berjalan dengan baik dan benar.

Lho, bukankah sudah ada para PNS yang akan melaksanakan kebijakan dan janji-janji si Kandidat? Ya, tentu, sebagai aparatur sipil Negara tugas mereka lah memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat. Namun apakah kebijakan itu dapat berjalan dengan baik tanpa pengawalan dan supervisi?

Nah disinilah ruang atau celah yang dapat diisi oleh Timses. Tak semua masalah, kebijakan, dan janji-janji program dapat ia (Si Kandidat terpilih) tangani berdua dengan wakilnya. Ia butuh bantuan Tim kerja yang solid. Tim kerja ini bisa dari PNS ataupun para professional yang ahli dibidangnya. Nah, agar kesolidan tim kerja ini berjalan dengan baik, maka anggota-anggotanya harus dikenal dengan baik oleh Si Kandidat. Dan yang dikenal dengan baik tentu bekas atau mantan Timsenya. Nah, tugas "Tim" inilah yang akan memastikan bahwa arah, langkah, dan kebijakan Si Kandidat terpilih dapat dikerjakan oleh para Kepala Dinas/Badan (para PNS) dengan baik, sesuai kebijakan yang digariskan Si Kandidat terpilih.

"Tim' ini tentu harus mempunyai 'rumah'. Nah, 'rumah' inilah, --entah itu namanya Tim (Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota) Untuk Percepatan Pembangunan, ((T(P/G/B/W/)UPP)), sejatinya adalah untuk memastikan agar arah kebijakan dari Si Kandidat dapat diimplentasikan dengan baik oleh para PNS atau jajaran birokrasi. 'Rumah/Tim' ini bisa diisi oleh para PNS yang memang ahli dalam suatu bidang tertentu, bisa pula oleh para mantan Timses Si Kandidat yang memang benar-benar punya kemampuan dan keahlian di bidangnya. Karena dari segi kualitas, mereka pun (para mantan Timses) sangat mumpuni. Datang dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan, professional di bidangnya, mulai dari yang tamatan SMA hingga S3.

Kita tentu berharap jangan sampai orang-orang yang berada dalam "Tim" itu, mereka yang tak punya kapasitas. Sebut saja si Udin. Meskipun di Timses, Udin bertugas sebagai koordinator pemasangan bendera dan atribut Si Kandidat, ia tak serta merta bisa masuk "Tim". Lihat dulu kemampuan Si Udin. Kalau Si Udin cuma jago ngurusin spanduk, misalnya, ya gak cocok untuk masuk di "Tim" yang nantinya akan men-suvervisi program "Ada Apa Dengan Jomblo", misalnya. Mungkin bisa dicari figur lain yang expert dibidang itu. Begitulah contoh sederhannya. Jangan sampai terjadi "Tim" itu hanya kedok untuk 'menggaji bulanan' para Udin-Udin lainnya sebagai ungkapan terima kasih Si Kandidat lantaran sudah dibantu mereka untuk memenangi pemilihan.

Agar kerja "Tim" itu tidak terkesan 'pasukan/tim siluman' yang hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu, maka Si Kandidat harus men-transparansi-kan "Tim"-nya. Keterbukaan itu misalnya, dimulai dari masalah pendanaan, dimana anggaran Tim diambil dari pos yang resmi APBN/D. Mereka digaji dengan nominal yang jelas, dengan masa kontrak kerja yang jelas pula. Jangan sampai terjadi dimana, mungkin gaji atau honor seseorang yang membantu kerja Si Kandidat berbeda satu dengan yang lainnya. Tak hanya itu, "Tim" justru diisi oleh para pencari pengalaman kerja, yang tak kredibel di bidangnya, lantaran baru lulus kuliah, dan hanya jago program komputer saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun