Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Renungan Eksistensialisme sebagai Aliran Filsafat

18 April 2021   13:07 Diperbarui: 18 April 2021   15:33 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kalangan menganggap eksistensialisme dianggap sebagai filsafat pemberontak karena terpusat pada individu. Dengan mempertanyakan “apakah ada jaminan bahwa setiap manusia berpikir sama dalam menjaga asasi manusia?” Jika tidak maka manusia lain bisa menjadi ancaman sesama manusia atau apa yang dikatakan Hobbes “homo homoni lupus”. Melihat itu maka individu-individu manusia harus ditempatkan kembali pada posisinya yang semula. Manusia tidak hanya memiliki akal namun manusia mempunyai fitrah kebahagiaan dan kedamaian yang harus diwujudkan.

Berbicara tentang pentingnya kebebasan manusia hingga menempatkan manusia itu kepada fitrahnya untuk merasakan kebahaagiaan dan kedamainan maka atas itu pula pemikiran eksistensialisme memengaruahi tokoh terpelajar Nusantara pada abad XX, lahirnya titah kebangkitan nasional pada tahun 1908 ingin menyuarakan segala bentuk penjajahan harus dibasmi dengan tujuan kebebasan subjek manusia. Itu percis apa yang ada dalam pemikiran Sartre tokoh eksistensialis Prancis yang sangat mendukung subjektivitas manusia.

Dalam bentuk kebebasan berpikir pada abad XX, dimana Nusantara waktu itu juga menghasilkan sekolah-sekolah rakyat jelata yang mana selama ini sekolah hanya dapat dinikmati oleh kaum kaya namun dengan watak eksistensialis maka setiap orang harus memiliki pola yang sama untuk menunjukkan pemikiran-pemikirannya. Dapat disimpulkan bahwa  Eksistensialisme juga bertujuan untuk humanisme dengan membangkitkan kesadaran manusia bahwa manusia itu makhluk yang berpotensi menjadi dirinya sendiri.

Sebelum beberapa bulan Indoenesia merdeka terlihat bahwa eksistensialisme terkandung dalam pikiran Soekarno yang dituangkan dalam pidato didepan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945 diantaranya:

  • “…Merdeka buat saya ialah political independence…”
  • “…Bacalah buku Amstrong yang menceritakan Ibn Saud! Disitu ternyata bahwa tatkala Ibdu Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabaia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa  otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh, Saudi Arabia merdeka!.....”
  • “….Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adalah rakyat musyik yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis…..””…..Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu dan disini kita mau mendirikan  Negara Indonesia merdeka….”
  • “….Saudara-saudara! Apakah yang dikatakan merdeka? Didalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Meredeka”. Maka dim dalam risalah  tahun 1933 itu, telah saya katakana, bahwa kemeredekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakana didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat…”
  • “….tetapi manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahakan  negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka…”

Pada saat ini di Indonesia terkadang kita melihat bentuk Eksistensialis telah menjadi stigma, terlihat dari kemunduran moral, berwatak atheis hingga menyimpangi kearifan lokal, kultur dan pengingkaran falsafah Pancasila. Kemajuan teknologi juga telah membungkam “tabu”nya harga diri. Namun itu semua adalah pilihan-pilahan manusia yang bebas dalam bereksistensi. Bahkan untuk tidak menjadi  manusiawipun adalah kebebasan akan pilihan yang hanya dimiliki manusia.

Sekali lagi, eksistensialis secara kodrati akan di sekat juga oleh kebebasan-kebebasan manusia yang memilih hidup dengan moral dan agama. Pilihan itu pula yang ditopang dengan kekuasaan seperti di Indonesia  agar manusia berTuhan, agar manusia beradab dan agar manusia memiliki pri-kemanusiaan. Kebebasan hak asasi memang dijamin namun kebebasan itu harus tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang telah diatur oleh hukum negara dan dalam domain privat manusia terikat kedalam nilai-nilai Ketuhanan yang harus mampu dipertanggung jawabkan oleh masing-masing individu yang bereksistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun