Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Renungan Eksistensialisme sebagai Aliran Filsafat

18 April 2021   13:07 Diperbarui: 18 April 2021   15:33 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Rachmad Oky  (Peneliti Lapi Huttara)  

Eksistensialisme telah menjadi aliran tersendiri dalam filsafat, menurut Jean Paul Sartre (Sartre) bahwa kebenaran dalam setiap tindakan pasti berdasarkan bagaimana lingkungan dan subjektivitas manusia dan juga  manusia diberikan kebebasan yang dihadapkan dengan pilihan-pilihan, dengan kata lain manusia bebas memilih untuk mencapai tujuannya masing-masing. Dengan demikian kebebasanlah yang harus diutamakan untuk melihat hakikat manusia.

Dari pandangan itu Sartre melontarkan pernyataan  bahwa “Kebebasan itu adalah kutukan bagi manusia”. Walaupun menekankan pada kebebasan akan pilihan namun  manusia juga dibebankan tanggung jawab atas kemauan yang  bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.  Sejatinya setiap orang terikat dengan orang lain, maka kebebasannya sebagai manusia harus memperhitungkan juga kebebasan orang lain. Manusia tidak dapat membuat kebebasan, tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain

Etimologi dari Eksistensialis  berasal dari kata latin “ex” berarti keluar dan “sistere” berarti berdiri. Jadi eksistensial adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Dari itu perwujudan manusia didunia dapat dilihat dari cara-cara apa yang ditempuh manusia itu. Masih dalam pandangan Sartre bahwa essensi manusia tidak bisa dijelaskan seperti halnya esensi benda-benda. Misalnya, ketika seseorang melihat sebilah pisau dapur, maka orang tersebut langsung dapat memahami bahwa pisau dibuat oleh seseorang yang memiliki konsep dikepalanya tentang tujuan dan prosedur pembuatan pisau tersebut. pemikiran semacam itu ditentang oleh Sartre. Karena memang kehadiran eksitensialisme merupakan reaksi atas ekstrimnya materialisme.

Sartre menyatakan bahwa sejatinya manusia pertama-tama ada dan kemudian mewujudkan makna dan kodratnya. Manusia semata-mata apa yang dibentuknya sendiri dan memiliki derajat yang lebih tinggi dari makhluk lainnya yang tidak memiliki kodrat yang sudah ditentukan sebelumnya, maka manusia adalah makhluk yang bebas untuk mewujudkan esesnsinya sendiri. Jargon yang keluar dari pemaknaan itu ialah “eksistensi mendahului esensi”. Namun apakah benar adanya eksistensi ada sebelum esensi?

Manusia memegang kebebasan,  jadi manusia berhak memilih peran yang ia ingin mainkan bahkan untuk menjadi tidak manusiawipun bagian dari manusia itu sendiri. Berbeda dengan makhluk lain yang tidak bisa keluar dari apa yang telah ditetapkan. Hewan hanya bisa berjalan dalam koridor insting, malaikat berjalan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Dengan demikian manusia berjalan dari kebebasan pertimbangan baik itu benar maupun salah sementara makhluk lain hanya sekedar ada lalu diberikan dan ditentukan ketetapan-ketapan yang mutlak.

Dilihat dari sisi lainnya, bahwa  keadaan alamiah manusia tidak bisa menentukan kebebasannya misalnya seorang bayi akan menjadi dewasa dan dewasa akan menjadi tua dan tua pasti menemukan kematian. Hal-hal demikianlah yang disebut dengan essensi yakni sesuatu yang hakiki yang tidak bisa diubah-ubah. Jadi manusia bereksistensi dalam esensi. Dari penjabaran diatas bukankah itu menandakan esensi ada sebelum eksistensi?

Dalam perkembangan ilmu pengatahuan yang begitu pesat membuat manusia sadar akan potensi dirinya sebagai subjek bagi dunia dengan itu manusia memiliki pemikirannya sendiri, para filusuf zaman pencerahan seperti Immanuel Kant menyatakan pencerahan itu “bangkitnya manusia dari ketidakdewasaan yang ditimbulkannya sendiri”. Pencerahan merupakan masa lepas dari kanak-kanak yang hanya mengandalakan otoritas eksternal dan mengabaikan kemampuan berpikir sendiri. Pencerahan bangkit dengan moto  "sapere aude!" yakni beranilah berpikir dan menggunakan akal sendiri.

Terlihat jelas eksistensilisme dapat mendobrak manusia dari tidurnya yang panjang. Didalam buku “Filsafat Modern” yang ditulis F. Budi Hadirman  menyatakan didalam semangat peradaban modern yang dibangun, manusia modern seakan-akan terlahir kembali setelah mengalami tidur panjang rentang abad kegelapan. Namun keburukan dari renaissance  bahwa manusia modern mengkritik dan melakukan pemberontakan dari cara berpikir teologis dan metafisis. Konsekuensinya, sumber nilai moral yang berasal dari agama dianggap sebagai belenggu kebebasan manusia. Dengan berpegang pada semboyan Horatius “beranilah berpikir sendiri!” manusia berkehendak otonom dan bebas dari segala otoritas dan tradisi.

Pandangan Lavine dalam “Petualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre” bahwa Perang Dunia I meruntuhkan kestabilan kekuatan diantara negara-negara eropa, hegemoni eropa atas politik dan ekonomi menjadi rapuh, struktur kekuasaan kehilangan kuasa atas individu, dari itu tawaran eksitensialisme mengajak agar pada diri manusia satu-satunya kekuasaan yang berlegitimasi. Eksistensialime juga terlihat pada eropa barat dimana ada keadaan yang tidak menentu, ketakutan manusia terhadap ancaman peperangan. Ekspresi manusia penuh dengan rahasia dan imitasi, nilai manusia yang terdegradasi hingga agamapun dinggap gagal memberikan maknanya. Dengan itu manusia terlihat menjadi orang yang gelisah yang dapat mengancam eksistensinya atas perbuatan sendiri.

Beberapa kalangan menganggap eksistensialisme dianggap sebagai filsafat pemberontak karena terpusat pada individu. Dengan mempertanyakan “apakah ada jaminan bahwa setiap manusia berpikir sama dalam menjaga asasi manusia?” Jika tidak maka manusia lain bisa menjadi ancaman sesama manusia atau apa yang dikatakan Hobbes “homo homoni lupus”. Melihat itu maka individu-individu manusia harus ditempatkan kembali pada posisinya yang semula. Manusia tidak hanya memiliki akal namun manusia mempunyai fitrah kebahagiaan dan kedamaian yang harus diwujudkan.

Berbicara tentang pentingnya kebebasan manusia hingga menempatkan manusia itu kepada fitrahnya untuk merasakan kebahaagiaan dan kedamainan maka atas itu pula pemikiran eksistensialisme memengaruahi tokoh terpelajar Nusantara pada abad XX, lahirnya titah kebangkitan nasional pada tahun 1908 ingin menyuarakan segala bentuk penjajahan harus dibasmi dengan tujuan kebebasan subjek manusia. Itu percis apa yang ada dalam pemikiran Sartre tokoh eksistensialis Prancis yang sangat mendukung subjektivitas manusia.

Dalam bentuk kebebasan berpikir pada abad XX, dimana Nusantara waktu itu juga menghasilkan sekolah-sekolah rakyat jelata yang mana selama ini sekolah hanya dapat dinikmati oleh kaum kaya namun dengan watak eksistensialis maka setiap orang harus memiliki pola yang sama untuk menunjukkan pemikiran-pemikirannya. Dapat disimpulkan bahwa  Eksistensialisme juga bertujuan untuk humanisme dengan membangkitkan kesadaran manusia bahwa manusia itu makhluk yang berpotensi menjadi dirinya sendiri.

Sebelum beberapa bulan Indoenesia merdeka terlihat bahwa eksistensialisme terkandung dalam pikiran Soekarno yang dituangkan dalam pidato didepan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tanggal 1 Juni 1945 diantaranya:

  • “…Merdeka buat saya ialah political independence…”
  • “…Bacalah buku Amstrong yang menceritakan Ibn Saud! Disitu ternyata bahwa tatkala Ibdu Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabaia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa  otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu! Toh, Saudi Arabia merdeka!.....”
  • “….Sovyet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan negara Sovyet, adakah rakyat Sovyet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia adalah rakyat musyik yang lebih dari 80% tidak dapat membaca dan menulis…..””…..Tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Sovyet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Sovyet itu dan disini kita mau mendirikan  Negara Indonesia merdeka….”
  • “….Saudara-saudara! Apakah yang dikatakan merdeka? Didalam tahun 1933 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Meredeka”. Maka dim dalam risalah  tahun 1933 itu, telah saya katakana, bahwa kemeredekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain tak bukan ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakana didalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat…”
  • “….tetapi manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahakan  negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka…”

Pada saat ini di Indonesia terkadang kita melihat bentuk Eksistensialis telah menjadi stigma, terlihat dari kemunduran moral, berwatak atheis hingga menyimpangi kearifan lokal, kultur dan pengingkaran falsafah Pancasila. Kemajuan teknologi juga telah membungkam “tabu”nya harga diri. Namun itu semua adalah pilihan-pilahan manusia yang bebas dalam bereksistensi. Bahkan untuk tidak menjadi  manusiawipun adalah kebebasan akan pilihan yang hanya dimiliki manusia.

Sekali lagi, eksistensialis secara kodrati akan di sekat juga oleh kebebasan-kebebasan manusia yang memilih hidup dengan moral dan agama. Pilihan itu pula yang ditopang dengan kekuasaan seperti di Indonesia  agar manusia berTuhan, agar manusia beradab dan agar manusia memiliki pri-kemanusiaan. Kebebasan hak asasi memang dijamin namun kebebasan itu harus tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang telah diatur oleh hukum negara dan dalam domain privat manusia terikat kedalam nilai-nilai Ketuhanan yang harus mampu dipertanggung jawabkan oleh masing-masing individu yang bereksistensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun