Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Terkait Novel Baswedan, Beranikah Hakim "berwatak" Progresif?

19 Juni 2020   19:12 Diperbarui: 20 Juni 2020   07:19 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita kaitkan dengan terdakwa penyiraman air keras ke korban NB maka semestinya hakim dapat menggunakan  watak progresifitas dari gagasan "Prof Tjip," yang mana hukum progresif itu lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian faktor serta kontribusi manusia yang didakwa melakukan kejahatan dianggap lebih menentukan daripada peraturan perundang-undangan yang ada. Maka coba bayangkan jika hakim mempunyai "watak" progresif tentu dapat melihat kontribusi para pelaku yang notabene anggota Polri aktif (oknum) justru membuat sengsara seumur hidup (kebutaan) terhadap korban NB. Dari itu sewajarnya hakim harus dapat menilai kontribusi perilaku terdakwa lebih harus menjadi sorotan dari pada ancaman yang diatur dalam undang-undang.

Sekiranya hakim mau bertindak lebih luas dari watak hukum progresif maka Utilitarianisme bisa menjadi pilihan yang digagas oleh Jeremy Bentham, dari watak Utilitarianisme hakim harus banyak mempertimbangkan aspek kemanfaatan, sementara tujuan kemanfaatan itu harus banyak mendatangkan kebahagiaan (happiness) bagi banyak orang, kehadiran badan peradilan harus dapat mendatangkan manfaat sejati yakni kebahagiaan mayoritas rakyat maupun individu.

Sejalan dengan apa yang dirasakan oleh korban NB yang menyebabkan mata kirinya menjadi buta maka NB sudah kehilangan kebahagiaan sejatinya untuk dapat melihat, maka tugas hakim adalah bagaimana memulihkan kebahagiaan korban NB seperti sedia kala dan semestinyalah hakim menghukum seberat-beratnya terdakwa dengan tujuan berusaha mengembalikan kebahagiaan NB akibat perilaku terdakwa. Maka ukuran baik buruk suatu putusan dapat dilihat dari sejauh mana hakim mendatangkan kebahagian bagi korban NB dan mayotitas masyarakat. Sejalan dengan gurunya, John Stuart Mill kebahagian itu terletak pada naluri manusia untuk membalas kerusakan yang dideritanya. Jadi sebaiknya putusan hakim harus memberi manfaat dan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi si penderita dan melihat rasa keadilan yang tumbuh dimasyarakat.

Dengan demikian momentum ini harus diambil secepatnya oleh hakim yang harus berwatak "Progresif" dan jangan sampai bahwa hak untuk tidak disiksa sebagai bagian dari hak kodrati manusia dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-oleh terkesan adil karena "begitulah bunyi undang-undangnya".

Jika memang manipulasi keadilan itu ada maka benarlah kata Jeremy Bentham filusuf Utilitarian bahwa "hak-hak kodrati manusia itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya, hukum kodrati direka oleh penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun dan intelektual, hak kodrati adalah omong kosong yang retorik.."


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun