Mohon tunggu...
Rachffa
Rachffa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang individu yang penuh semangat, kreatif, dan selalu berorientasi pada hasil. Saya percaya bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk tumbuh, dan saya senang berkolaborasi dengan orang yang beragam untuk menciptakan solusi inovatif. Ketika tidak sibuk dengan pekerjaan, Anda akan menemukan saya [kegiatan favorit Anda, misalnya "mengeksplorasi tempat baru, membaca buku inspiratif, atau mencoba resep masakan unik"]. Moto saya: "Belajar tanpa henti, berkarya tanpa batas."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Telemedicine Semakin Canggih Tapi Siapa Yang Bertanggung Jawab Jika Salah?

16 Juni 2025   12:15 Diperbarui: 16 Juni 2025   12:13 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dunia kesehatan tengah mengalami transformasi besar dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI) yang digunakan dalam berbagai layanan, termasuk telemedicine. Di permukaan, inovasi ini terlihat menjanjikan. Pasien bisa berkonsultasi tanpa harus meninggalkan rumah, diagnosis diberikan dalam hitungan menit, dan semua proses serba praktis. Tapi di balik kemudahan itu, tersembunyi risiko yang jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan. Risiko yang tak lagi menyangkut kecepatan layanan, melainkan menyentuh hakikat tertinggi dalam dunia medis: keselamatan jiwa manusia.

Kasus Tn. A menjadi gambaran nyata bagaimana teknologi yang tampak canggih ternyata bisa menjadi bumerang. Dengan gejala nyeri dada dan sesak napas, ia memilih berkonsultasi melalui platform digital berbasis AI. Tak ada interaksi emosional, tak ada penggalian informasi mendalam, hanya deskripsi singkat yang diketikkan ke dalam sistem. AI kemudian memberi diagnosis GERD (penyakit asam lambung) dan merekomendasikan antasida. Tn. A mengikuti saran itu, padahal yang ia alami adalah serangan jantung. Nyawanya hampir melayang hanya karena satu keputusan algoritma yang keliru.

Apa yang sebenarnya terjadi? AI, meski mampu menganalisis data dalam jumlah besar dan mendeteksi pola, tetap tak mampu menangkap nuansa manusiawi dalam dunia klinis. Diagnosis bukan hanya soal data, tapi juga soal rasa: empati, intuisi, dan penghayatan terhadap situasi pasien. Teknologi secanggih apapun tidak bisa membaca air muka yang gelisah, tidak bisa menyadari jika tekanan psikologis mempengaruhi keluhan fisik, atau menyadari bila pasien menyembunyikan sesuatu karena takut atau malu. Bahkan sistem terbaik sekalipun, jika diisi data yang salah atau tidak lengkap, akan tetap menghasilkan kesimpulan yang keliru.

Lebih parah lagi, masyarakat seringkali tidak diberi edukasi yang memadai tentang bagaimana teknologi ini bekerja. Mereka tidak tahu bahwa AI bekerja secara prediktif, bukan diagnostik sepenuhnya. Tak sedikit pasien yang mempercayakan seluruh keputusannya pada hasil sistem, seolah-olah itu adalah vonis dari seorang dokter senior. Kurangnya literasi digital menjadikan teknologi yang seharusnya membantu justru berpotensi mencelakakan. Sementara itu, tenaga medis pun belum seluruhnya siap menghadapi era ini. Banyak yang masih mengandalkan AI tanpa mengevaluasi kembali hasilnya dengan pendekatan klinis yang semestinya. Di sinilah letak persoalan besar yang belum banyak disadari.

Masalah etika dan hukum pun menjadi kabur. Siapa yang salah jika AI salah mendiagnosis? Apakah pengembang sistem, penyedia platform, atau dokter yang hanya menyetujui hasil rekomendasi? Hingga hari ini, regulasi khusus yang mengatur peran AI dalam praktik medis di Indonesia masih minim. UU ITE dan UU Kesehatan memang mencakup layanan digital, tapi tidak secara spesifik menyentuh kompleksitas hubungan manusia dan mesin dalam keputusan klinis. Padahal, jika terjadi malpraktik, konsekuensinya bukan hanya tuntutan hukum, tapi juga trauma psikologis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem kesehatan itu sendiri.

Situasi ini menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, penyedia layanan kesehatan, akademisi, hingga masyarakat. Penggunaan AI dalam telemedicine tidak bisa diperlakukan seperti penggunaan aplikasi biasa. Di dalamnya ada nyawa, ada tanggung jawab, dan ada martabat profesi medis yang harus dijaga. Jika tidak diiringi dengan edukasi menyeluruh dan regulasi yang ketat, maka kita sedang membuka jalan bagi terjadinya gelombang malpraktik digital yang lebih luas.

Maka menjadi sebuah urgensi tersendiri untuk menempatkan AI pada porsi yang semestinya. Bukan sebagai pengganti manusia, tapi sebagai asisten yang tunduk pada pertimbangan profesional. Dokter tetap harus menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan medis. Perusahaan teknologi harus diajak duduk bersama dalam merancang sistem yang tidak hanya efisien, tapi juga etis. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan cepat dan digital, terlebih lagi jika menyangkut tubuh dan kesehatan mereka. Di era yang semakin mengandalkan teknologi, kita justru harus semakin kritis dan sadar bahwa tidak semua yang praktis berarti aman. Kecanggihan bukan jaminan keselamatan. Yang menyelamatkan manusia tetaplah manusia itu sendiri dengan pengetahuan, nurani, dan kehati-hatian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun