Semut-semut menggodaku yang lalu-lalang mencuri gulaku.
"Hei, mengapa Engkau cemberut?!"Â tanya pemimpin mereka yang pongah.
"Hei, mengapa Engkau peduli?!"Â balasku dengan napas bau sambal teri.
"Hei, apa urusanmu kalau aku peduli?!"Â tantangnya dengan berkacak pinggang.
"Hei, apa urusanmu memedulikan aku?!"Â balasku lagi tanpa gentar menghadapinya.
"Aku takut air matamu membanjiri bayi-bayi kami! Jadi ceritakanlah apa masalahmu, bodoh?!" tawarnya yang tidak dapat aku tolak.
"Umur ibuku diganggu suatu penyakit langka!" jawabku yang mulai berkaca-kaca.
"Memangnya selangka apa penyakit ibumu? Apakah sama langkanya dengan harimau jawa?" tanya pemimpin barisan para pencuri kecil itu.
"Mereka punah!" jawabku yang jengkel.
"Berapa sisa umur ibumu, kawan?" tanya dia yang sambil menginstruksikan prajurit-prajurit untuk pergi lebih dulu ke dalam sarang.
"Aku harap dia sama tuanya dengan Nabi Nuh!" candaku walau tak ada tawa di sana.