Pendahuluan
Santri adalah sebutan bagi para pelajar yang menimba ilmu di pondok pesantren, lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki peran penting dalam mencetak generasi berakhlak, berilmu, dan berjiwa sosial. Pesantren bukan hanya tempat belajar ilmu agama, tetapi juga wadah pembentukan karakter dan kepemimpinan. Akan tetapi, ketika masa belajar di pesantren telah usai, para santri menghadapi tantangan baru di dunia luar. Tidak sedikit yang mengalami kebingungan arah hidup, kesulitan adaptasi sosial, hingga tantangan ekonomi dan profesional. Fenomena ini dikenal sebagai problematika santri pasca lulus.
KH. Hasan Abdullah Sahal, pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor, pernah menegaskan bahwa "santri bukan hanya orang yang bisa mengaji, tetapi orang yang bisa hidup dan menghidupi orang lain." Pernyataan tersebut menggambarkan hakikat santri sejati---bukan hanya ahli dalam ibadah, tetapi juga mampu berperan aktif di masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua santri mampu mencapai tahap tersebut setelah mereka meninggalkan lingkungan pesantren.
Tantangan Identitas dan Adaptasi Sosial
Salah satu problem utama santri pasca lulus adalah krisis identitas. Ketika berada di pesantren, santri hidup dalam lingkungan yang seragam: aturan ketat, jadwal ibadah teratur, adab sopan santun, serta sistem pendidikan yang religius dan disiplin. Dunia luar pesantren justru berbanding terbalik. Ketika santri memasuki masyarakat umum, mereka berhadapan dengan realitas pluralisme budaya, gaya hidup sekuler, dan kebebasan individu yang tinggi.
Kondisi ini sering kali menimbulkan "kejutan budaya" (culture shock). Beberapa santri merasa canggung, minder, bahkan kehilangan arah. Mereka terbiasa dengan kehidupan sederhana dan kolektif, sehingga sulit menyesuaikan diri dengan dunia modern yang kompetitif dan individualistik. KH. Hasan Abdullah Sahal menilai bahwa "santri harus kuat jiwanya, karena dunia luar tidak lagi membunyikan lonceng untuk shalat berjamaah, tidak ada ustaz yang menegur kalau malas. Di situlah ketahanan diri santri diuji."
Artinya, keberhasilan santri pasca lulus bukan hanya ditentukan oleh ilmu yang diperoleh, tetapi juga kemampuan beradaptasi tanpa kehilangan jati diri keislamannya. Jika gagal beradaptasi, santri dapat kehilangan karakter khasnya sebagai insan berakhlak, dan sebaliknya larut dalam gaya hidup duniawi.
Kendala Akademik dan Profesional
Selain masalah adaptasi, problem serius lainnya adalah kesenjangan akademik dan profesional. Meskipun pesantren memiliki kurikulum keagamaan yang kuat, banyak di antara lulusannya yang belum siap menghadapi tuntutan dunia kerja modern. Beberapa pesantren memang telah mengintegrasikan pendidikan umum dan vokasional, tetapi masih banyak pesantren tradisional (salafiyah) yang berfokus pada penguasaan kitab kuning tanpa memberikan keterampilan praktis seperti literasi digital, kewirausahaan, atau kemampuan berbahasa asing aktif.
Akibatnya, ketika santri lulus dan ingin bersaing di dunia kerja, mereka sering kali kalah saing dengan lulusan sekolah umum. Tidak sedikit santri yang akhirnya bekerja serabutan, menjadi guru ngaji, atau kembali ke pesantren karena tidak tahu harus bekerja di bidang apa. Padahal, dalam pandangan KH. Hasan Abdullah Sahal, "santri harus mampu berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), dan mandiri dalam ekonomi, sosial, dan pemikiran."
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya kemandirian. Pesantren seharusnya tidak hanya mendidik santri untuk tafaqquh fiddin (mendalami agama), tetapi juga mempersiapkan mereka untuk hidup di tengah masyarakat modern. Sebab tantangan zaman terus berubah---dan tanpa bekal keterampilan duniawi, nilai-nilai keagamaan sulit diwujudkan secara nyata.
