Peristiwa tahun 1965-1966 menjadi salah satu babak terkelam dalam sejarah Indonesia, ditandai dengan pembunuhan massal dan penahanan tanpa proses hukum terhadap jutaan warga negara yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) atau berafiliasi dengannya. Tragedi ini bukan hanya pelanggaran HAM berat yang sistematis, tetapi juga meninggalkan luka mendalam yang masih terasa hingga kini.
Peristiwa ini berakar dari situasi politik yang sangat tegang pasca-peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965. Setelah G30S, militer mengambil alih kendali dan memicu kampanye anti-komunis besar-besaran. Propaganda yang kuat menyebarkan narasi bahwa PKI adalah ancaman berbahaya bagi negara dan agama, memicu kebencian dan kemarahan publik.
Dalam waktu singkat, terjadi penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI, serta mereka yang hanya dituduh terkait. Angka korban jiwa diperkirakan mencapai ratusan ribu hingga jutaan orang. Mereka yang selamat seringkali ditahan di kamp-kamp penahanan tanpa pengadilan selama bertahun-tahun, mengalami penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Selain itu, keluarga korban juga menghadapi diskriminasi sosial dan politik yang berat selama puluhan tahun setelahnya.
Kasus Tragedi 1965-1966 mencakup berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan:
1. Pembunuhan Massal (Genosida atau Pembunuhan di Luar Hukum): Ribuan, bahkan jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum yang adil. Ini merupakan tindakan pembantaian yang sistematis dan meluas.
2. Penahanan Sewenang-wenang: Banyak orang ditahan tanpa surat perintah penangkapan, tanpa dakwaan yang jelas, dan tanpa akses ke pengadilan. Mereka ditahan di berbagai lokasi, mulai dari penjara resmi hingga kamp-kamp improvisasi.
3. Penyiksaan dan Perlakuan Tidak Manusiawi: Para tahanan mengalami penyiksaan fisik dan mental yang brutal. Kondisi penahanan seringkali sangat buruk, tanpa sanitasi memadai dan makanan yang cukup.
4. Penghilangan Orang Secara Paksa: Sejumlah orang "menghilang" tanpa jejak, meninggalkan keluarga mereka dalam ketidakpastian dan penderitaan.
5. Diskriminasi Sistematis: Para korban dan keluarga mereka didiskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan hak-hak sipil. Stigma "eks-PKI" melekat pada mereka dan menghalangi partisipasi penuh dalam masyarakat.
6. Pelanggaran Hak untuk Hidup dan Keamanan Pribadi: Hak-hak dasar ini diinjak-injak secara massal oleh aparat dan kelompok-kelompok sipil yang didukung negara.