Aku terbangun menjelajah bayang-bayang mimpi, tiap jengkalnya menumbuhkan keinginan kering. Apa kabar kalian, mungkin kau sedang bahagia, kuharap begitu. Kutarik semua urat-urat ketegangan ini, dengan payah lagi susah, kuhempaskan tubuh lapuk ini keperut bumi, jika beruntung aku dapat bangkit dari bayang mimpi. Paling tidak aku pernah sekolah, belajar, dan mendengar ceramah impian manusia. Kalian mengerti yang kumaksud, tentang guru yang menanyakan cita-cita kalian, atau sekedar teman sekelas yang dengan bangga bercerita akan seragam baru. Dan seperti itulah mimpi anak-anak.
Apakah kalian pernah mendengar mimpi-mimpi dari desa. Impian anak desa, semacam gambaran kebesaran yang penuh keterbatasan. Bagaimana suara kota menumbangkan dengan mudah suara halus yang bernama impian. Aku melihat wajah semangat kalian pagi ini. Wajah orang kota, sepenuhnya aku tak percaya.
Dingin meyeruak, menembus kulit, kebanyakan rasa kepedihan digambarkan. Jiwa bergelora menyongsong lamunan pagi, ah... aku masih bermimpi. Bagaimana caranya aku bangkit menyambut mentari hari ini. Lambat laun bayangan kabur, seiring matahari kian meninggi dan panas. Mimpi- mimpi perlahan menguap begitu saja, menambah tebal awan dilangit. Aku yakin sore akan turun hujan dengan lebatnya, menghapus mimpi tanpa sisa.
Kulihat deretan lansia berjajar, rapi dan rapuh. Mimpiku bersandar pada pandangan ini, tertata dan akan menua. Guratan wajah lansia yang menandakan habisnya sebuah impian.