Dalam beberapa bulan terakhir, nilai tukar rupiah menunjukkan tren negatif terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan pada 7 April 2025 pukul 9:16 WIB, Bloomberg mencatat bahwa rupiah sempat menyentuh angka Rp17.000 per dolar AS. Bagi sebagian masyarakat awam, ini mungkin hanya deretan angka di layar televisi atau sekadar info tambahan yang melintas di pemberitahuan handphone. Namun bagi kelompok masyarakat yang menggantungkan hidup pada stabilitas harga bahan pokok, angka ini bukan sekadar data. Ini adalah kabar buruk yang memunculkan kecemasan.
Pelemahan des nilai tukar (depresiasi) berdampak langsung terhadap harga barang kebutuhan pokok. Saat nilai tukar rupiah melemah, harga impor meningkat. Barang-barang seperti minyak goreng, bahan baku industri dan alat elektronik lebih mahal. Kenaikan harga ini terjadi meskipun pendapatan masyarakat tidak mengalami peningkatan. Dalam kondisi seperti ini, daya beli melemah dan tekanan ekonomi semakin terasa.
Fenomena tidak dapat dilepaskan dari dinamika kompleks ekonomi global. Salah satu faktor penyebab depresiasi rupiah adalah kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed). Suku bunga tinggi menarik investor global untuk menanamkan modalnya di pasar keuangan Amerika Serikat (AS) karena laba yang lebih menjanjikan. Akibatnya, aliran modal dari negara berkembang mengalami perpindahan, Indonesia salah satu contohnya.Â
Di sisi lain kondisi geopolitik internasional turut memperburuk situasi. Ketegangan antara kekuatan besar dunia seperti Amerika Serikat, Tiongkok dan Rusia menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Konflik Timur Tengah, Invasi Rusia-Ukraina serta perang dagang AS-Tiongkok mendorong ketidakstabilan pasar. Dalam iklim ekonomi seperti ini, investor cenderung menghindari risiko dan menarik dana dari negara berkembang menjadi dolar AS sebagai "safe heaven".
Salah satu fenomena global yang menarik perhatian yakni kembalinya Donald Trump sebagai pemimpin tertinggi Amerika Serikat. Trump identik sebagai figur dengan pendekatan ekonomi yang agresif. Seperti penerapan kebijakan proteksionis yang berorientasi pada kepentingan domestik AS untuk mewujudkan "America First". Dalam pidatonya pada 2 April 2025, Gedung Putih menyatakan pemerintahan Trump akan menaikkan tarif impor atau respirokal, terutama pada negara-negara yang dinilai "tidak adil" terhadap perdagangan AS. Kebijakan inipopuler dikenal sebagai "Trump Tariff" tidak hanya sekedar retorika, melainkan sikap tegas AS yang telah menimbulkan efek domino global.Â
"Trump Tarrif" atau tarif resiprokal diterapkan secara meluas. Mulai dari tarif 10% hingga lebih tinggi terhadap berbagai produk, mencakup bahan baku industri hingga bahan konsumsi. Negara-negara yang dianggap "penentang" seperti Tiongkok dikenai tarif lebih besar, yang berujung pada perang dagang. Fenomena ini menyiratkan perubahan arah dalam sistem ekonomi dunia. Dari perdagangan berbasis kolaborasi multilateral, mengarah pada model kompetisi dan dominasi. Kebijakan Trump ini mengingatkan pada praktik Inggris abad ke-17, saat Navigation Acts diberlakukan demi memonopoli arus barang dan mengamankan surplus perdagangan. Di masa kini, semangat itu kembali, namun dengan wajah modern: tarif, sanksi ekonomi, hingga perang teknologi.
Secara historis, arah kebijakan ini mencerminkan kembalinya semangat merkantilisme. Dimana negara dianggap sebagai aktor dominan yang menggunakan perdagangan sebagai alat kekuasaan. Adam Smith dalam The Wealth of Nations (2005) menekankan bahwa merkantilisme bersifat zero-sum game, yang berarti keuntungan satu negara secara pasti memberikan kerugian bagi negara lainnya. Dalam pandangan merkantilisme ini, siapa yang mampu mendominasi ekspor dan mencatatkan surplus perdagangan, dialah yang dianggap kuat. Maka, ketika AS dan negara besar lain menerapkan kebijakan proteksionis, negara-negara berkembang seperti Indonesia dipaksa ikut bermain dalam kekuatan yang tidak setara.Â
Masalahnya, negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki kapabilitas yang sama. Indonesia dengan struktur ekonomi yang masih sangat bergantung pada impor bahan baku sementara pasar ekspor terhambat akibat kebijakan proteksionis negara mitra. Pelemahan rupiah turut memperburuk situasi ini. Harga barang impor melonjak, inflasi meningkat dan beban hidup masyarakat menengah yang kian berat.Â
Masyarakat kecil seperti buruh, pedagang pasar, hingga pelaku usaha mikro, tidak memiliki keahlian untuk membaca pasar valuta asing. Yang mereka tahu hanyalah harga barang kebutuhan harian terus menanjak naik, sementara pendapatan tetap stagnan. Bagi kelompok ini, melemahnya rupiah bukan sekedar mekanisme pasar, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup mereka.
Studi Dani Rodrik (2011) dalam karyanya The Globalization Paradox menyoroti fenomena ini sebagai bentuk hubungan ekonomi global yang asimetris. Menurut Rodrik, negara-negara berkembang seringkali berada dalam posisi yang tidak menguntungkan karena harus mencari pasarnya dan mengikuti aturan global yang ditetapkan negara-negara maju, tanpa memiliki wewenang dan produktivitas yang setara. Akibatnya mempertegas pandangan mengenai hubungan asimetris antara negara maju dan berkembang. Rodrik menjelaskan bahwa negara berkembang seringkali menghadapi tekanan ganda, disatu sisi adanya tuntutan bersaing dalam pasar terbuka, dan disisi yang lain keterbatasan domestik dalam hal struktur, inovasi dan kemandirian ekonomi.