Tahun ke tahun peringatan Hari Buruh pada setiap 1 Mei di Indonesia selalu disertai dengan aksi buruh turun ke jalan. Namun, tampaknya aksi tahun ini jauh lebih panas dari tahun sebelumnya. Bahkan, di berbagai daerah, aksi buruh kemarin berlangsung dengan eskalasi yang tinggi. Salah satunya adalah aksi buruh di Semarang yang berakhir dengan penahanan peserta aksi dan adanya kekerasan terhadap jurnalis. Tindakan-tindakan represif di aksi buruh ini menambah daftar panjang persoalan buruh yang belum terselesaikan. Meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan kebijakan yang dianggap merugikan pekerja semakin mengundang ketegangan sosial yang tak bisa diabaikan begitu saja. Situasi ini menunjukkan bahwa persoalan buruh bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga menyangkut hak bersuara atas kebebasan demokrasi yang kian tergerus.Â
Badai PHK dan Faktor Penyebabnya
Berdasarkan laman Satudata Kemnaker, tercatat total PHK Nasional selama tahun 2024 tercatat sebanyak 77.965 pekerja mengalami PHK. Provinsi dengan jumlah PHK tertinggi adalah DKI Jakarta (17.085 pekerja), diikuti oleh Jawa Tengah (13.130 pekerja) dan Banten (13.042 pekerja). Data ini menunjukkan wilayah-wilayah di Pulau Jawa menjadi tempat dengan angka PHK tertinggi dan menjadi indikasi adanya tantangan besar yang dihadapi sektor ketenagakerjaan Indonesia. Terbukti, Satudata Kemnaker kembali merilis data bahwa selama Januari--Februari 2025 tercatat sebanyak 18.610 tenaga kerja terkena PHK dari berbagai perusahaan di beberapa sektor industri.Â
Angka besar PHK di dua bulan awal 2025 disumbangkan oleh PT Sritex yang mengumumkan secara resmi kebangkrutannya pada Februari 2025 setelah melakukan PHK terhadap 11.205 karyawannya sebagaiaman dilaporkan oleh Tempo.co berdasarkan wawancara bersama pihak PT Sritex. Perusahaan lain yang mengikuti jejak Sritex menurut laporan DetikFinance adalah PT. Sanken Indonesia yang melakukan PHK terhadap 900 pekerja, dan PT Victory Ching Luh yang harus merumahkan 2.000 buruh. Selain itu, bertepatan Hari Buruh kemarin juga, berbagai perusahaan media di Indonesia, seperti Kompas, MNC Group, CNN, dan lainnya juga melakukan restrukturisasi dan PHK besar-besaran terhadap ratusan karyawannya sebagai upaya efisiensi dan penyesuaian dengan perubahan kondisi ekonomi dan pasar media yang sulit (Lombok Post, 2025). Sebagian besar perusahaan yang melakukan PHK berasal dari sektor manufaktur, ritel, dan teknologi, sektor-sektor yang sangat terdampak oleh kondisi ekonomi global dan penurunan daya beli masyarakat.
 Menurut laporan CNBC Indonesia, inflasi tahunan Indonesia pada tahun 2024 menjadi angka inflasi terendah sepanjang sejarah dengan angka hanya sebesar 1,57%. Rendahnya inflasi ini disebabkan juga oleh penurunan daya beli masyarakat Indonesia beberapa bulan terakhir dan melandainya harga bahan pangan pokok sehingga memperburuk situasi. Penurunan daya beli masyarakat ini mengindikasikan bahwa masyarakat sedang menahan diri untuk tidak terlalu banyak melakukan pengeluaran akibat stagnannya pendapatan. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan besar melakukan restrukturisasi dan efisiensi dengan mengurangi tenaga kerja. Selain itu, mereka juga harus beradaptasi juga dengan perubahan ekonomi global, di mana ketidakpastian semakin mempengaruhi pasar domestik Indonesia dan PHK menjadi pilihan untuk menjaga agar operasional tetap berjalan dengan biaya rendah.
Tuntutan Buruh Indonesia dalam Aksi Buruh 2025
Di tengah badai PHK, para buruh di Indonesia menyuarakan tuntutan yang semakin mengakar pada aksi Hari Buruh 2025 kemarin. Terdapat enam tuntutan utama, diantaranya penghapusan outsorcing, pembentukan Satgas PHK untuk melindungi buruh yang terkena dampak PHK, pemberian upah layak, perlindungan buruh dengan mengesahkan RUU Ketenagakerjaan yang baru bukan versi omnibus law, perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), dan pemberantasan korupsi dengan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini cenderung lebih berpihak pada perusahaan dan pemodal. Sementara para buruh geram karena mereka yang bekerja keras sebagai penopang perekonomian justru diabaikan dan dianggap sepele. Selain masalah PHK dan kebijakan yang tidak adil, masih banyak juga kasus pelanggaran hak-hak buruh yang terjadi di Indonesia. Mulai dari pekerja perempuan yang tidak menerima upah penuh saat sakit atau cuti melahirkan, jam kerja yang melewati batas aturan, hak pesangon yang layak, hingga gaji karyawan, guru, bahkan nakes dan seluruh buruh masih tergolong rendah dan tidak layak dibanding negara lain.Â
Menanggapi gelombang aksi dan tuntutan buruh, Presiden Prabowo Subianto mengakui bahwa persoalan ketenagakerjaan merupakan tantangan serius yang harus segera ditangani terutama terkait kesejahteraan dan perlindungan buruh. Dalam pidatonya, ia berjanji akan menarik seluruh aset yang dikorupsi, menghapus outsourcing, dan berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup buruh melalui perbaikan upah minimum, perlindungan jaminan sosial, dan lainnya. Meski demikian, banyak buruh dan masyarakat yang meragukan janji-janji tersebut mengingat rekam jejak pemerintah yang lebih condong pada kepentingan investasi. Selain itu, kebijakan ketenagakerjaan juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga bagaimana tanggung jawab perusahaan merespons krisis, menafsirkan efisiensi, dan mengelola sumber daya manusianya. Dengan demikian, perhatian terhadap kesejahteraan buruh juga menjadi ujian penting bagi kepemimpinan manajerial di perusahaan.
Manajemen Krisis dan Etika Perusahaan dalam Badai PHK
Pada kasus badai PHK yang melanda berbagai sektor industri, tanggung jawab manajemen di perusahaan tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada dasarnya memang efisiensi menjadi alasan utama yang dikatakan perusahaan saat melakukan PHK, tetapi di sisi lain keputusan strategis seperti itu harus didasari oleh prinsip manajemen krisis dan etika bisnis yang kuat. Para manajer perusahaan harus mampu mengantisipasi dampak sosial dari kebijakan efisiensi yang diambil. Keputusan merumahkan karyawan secara tiba-tiba tanpa strategi transisi seperti pelatihan ulang, penyaluran kerja baru, atau tidak diberi pesangon layak hanya akan memperkuat persepsi negatif terhadap perusahaan. Terlebih, jika manajer perusahaan gagal membangun komunikasi terbuka dan transparan sebelum keputusan PHK diambil sehingga memicu resistensi bahkan konflik industrial.
Dari sudut pandang manajerial seharusnya perusahaan mempertimbangkan keberlanjutan atau sustainability dan tanggung jawab sosial. Strategi restrukturisasi yang manusiawi, partisipatif, dan berbasis data yang matang bisa menjadi solusi agar perusahaan tetap kompetitif tanpa mengorbankan hak-hak pekerja. Di sisi lain, pemerintah juga harus aktif memastikan adanya good governance, termasuk pengawasan terhadap perusahaan yang melakukan PHK dengan alasan efisiensi, tetapi pada kenyataannya untuk mencetak keuntungan besar. Dengan demikian, tantangan-tantangan ini bukan hanya milik buruh, tetapi juga kewajiban bagi manajemen dan pemerintah untuk mereformasi ulang oendekatan mereka terhadap tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, bukan sebagai biaya melainkan sebagai aset strategis yang perlu dijaga, dilibatkan, dan dihormati.Â