Kekerabatan berasal dari kata kerabat yang artinya yang dekat (pertalian keluarga), sedarah sedaging, keluarga, sanak saudara, atau keturunan yang sama. Jadi, Kekerabatan merupakan hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang mempunyai hubungan darah atau keturunan yang sama dalam satu keluarga. Di Indonesia sendiri terdapat tiga macam system kekerabatan, sebagaimana yang disebutkan dalam buku Pengantar Antropologi (2019), masyarakat adat Indonesia mengenal tiga bentuk sistem kekerabatan, diantaranya bilateral yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari ayah dan ibu. Kemudian patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari ayah. Dan terakhir matrilineal yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari ibu.
Salah satu suku di Indonesia yang menggunakan system kekerabatan matrilineal ini adalah suku Minang. Suku bangsa Minangkabau merupakan suku bangsa yang cukup unik di Indonesia dengan masyarakatnya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Umar Junus sebagaimana dikutip Hajizar mengemukakan:
Pendukung kebudayaan Minangkabau dianggap sebagai suatu masyarakat dengan sistem kekeluargaan yang ganjil diantara suku-suku bangsa yang lebih dahulu maju di Indonesia, yaitu menurut sistem kekeluargaan yang Matrilineal. Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada kebudayaan Minangkabau; terutama dipopulerkan oleh roman-roman Balai Pustaka pada periode pertama dari abad ke-20 (Junus dalam Hajizar, 1988:46).
Sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau
Dalam sistem kekerabatan matrilineal Minang, satuan keluarga terkecil disebut dengan semande atau sainduak (seibu) yang terdiri atas tiga generasi yaitu seorang nenek, para ibu , dan anak-anak mereka. Dalam Sebuah keluarga dipimpin oleh saudara laki-laki ibu, yang dipanggil oleh anak-anak ibu sebagai mamak, dan anak-anak itu disebut kamanakan oleh mamaknya. Dalam sebuah keluarga ini akan tinggal di sebuah Rumah Gadang yang jumlah kamarnya disesuaikan dengan jumlah perempuan di dalam rumah itu, jika perempuan dalam rumah itu memiliki sembilan orang maka jumlah kamar yang ada di dalam Rumah Gadang juga ada Sembilan kamar.
Dalam suatu rumah gadang dihuni oleh satu keluarga. Rumah ini berfungsi untuk kegiatan-kegiatan adat dan tempat tinggal. Keluarga yang mendiami rumah gadang adalah orang-orang yang seketurunan yang dinamakan saparuik (dari satu perut) atau setali darah menurut garis keturunan ibu. Ibu, anak laki-laki dan anak perempuan dari ibu, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu serta anak-anaknya, atau cucu-cucu ibu dari anak perempuannya disebut saparuik, karena semua mengikuti ibunya. Sedangkan ayah (suami ibu) tidak termasuk keluarga di rumah gadang istrinya, akan tetapi menjadi anggota keluarga dari paruik rumah gadang tempat ia dilahirkan (ibunya) (Hajizar, 1988:46-47).
Struktur keluarga komunal matrilineal di Minangkabau
Dalam suatu himounan keluarga samande atau seibu di Minang disebut saparuik. Keluarga saparuik ini terdiri atas 4 generasi yaitu ninik (ibu dari nenek) lalu, beberapa orang nenek seibu, para ibu yang merupakan anak para nenek yang seibu, dan para cucu dari nenek. dari nenek. Suatu paruik dipimpin oleh seorang dipimpin oleh seorang mamak tertua, yang disebut tertua, yang disebut Tungganai.
Kemudian ada lagi yang disebut dengan sakaum, yaitu himpunan beberapa keluarga saparuik yang seketurunan. Satu satuan kaum ini terdiri atas 5 generasi keturunan dari seorang “ibu dari ninik”. Keluarga sakaum dipimpin oleh seorang primus interpares di antara para tungganai, disebut Mamak Kaum.
Selain saparuik dan sakaum, dalam struktur keluarga komunal matrilineal di Minangkabau ada juga istilah sasuku. Sasuku yaitu himpunan beberapa kaum yang seketurunan. Satu satuan suku terdiri atas enam generasi yang dipimpin oleh seorang Pangulu. Seorang pangulu dalam suatu kaum ditetapkan berdasarkan musyawarah mufakat di antara kaum yang sekerabat, baik dalam format kalarasan Koto Piliang (sistem aristokratis) maupun kalarasan Bodi Caniago (sistem demokratis) (Persoalan kalarasan ini dibahas tersendiri). Seorang pangulu nantinya menyandang prediket sebagai Datuk dengan gelar kehormatan khusus suku yang disebut sako. Nah Sako inilah yang nantinya diwariskan secara turun temurun sejak beberapa generasi sebelumnya.