Mohon tunggu...
Qorizha Ningrum
Qorizha Ningrum Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Menjadi Luar Biasa Itu Wajib

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Kritis terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Oleh Qorizha Islamiah Ningrum, Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

22 Januari 2021   16:25 Diperbarui: 22 Januari 2021   17:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejalan dengan semangat perlindungan atas hak asasi manusia, produk- produk hukum berupa undang-undang yang menjamin hak anak dibentuk oleh DPR dan Pemerintah RI. Keberadaan undang-undang tersebut menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia menjunjung hak-hak anak dan memberikan jaminan perlindungan terhadap hak anak. Hanya saja, masih terdapat disharmoni antara UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan peraturan perundang- undangan yang menjamin perlindungan hak anak dalam hal usia perkawinan. Undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan hak-hak anak mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun. Pengaturan batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur secara khusus di dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak anak. Pasal 7 tersebut meresahkan karena menjadi pintu terbukanya perkawinan anak. Hal ini dikuatkan dengan Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) frasa usia “16 (enam belas) tahun” UU tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya dalam Amar Putusan dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuknundang-undang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak putusan tersebut ditetapkan untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga muncullah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

Latar Belakang UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Syarat- Syarat, Serta Prinsip-Prinsip Perkawinan.

Pada awal kemerdekaan, upaya pembangunan di bidang hukum mulai dirintis. Uniknya justru hukum di bidamg perkawinanlah yaitu UU NO 22/1946 Tentang Nikah Talak dan Rujuk (NTR) yang pertama kali dibuat oleh bangsa Indonesia walau hanya berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura saja. Setelah itu diundangkan melalui UU No 32 Tahun 1954 sehingga UU NTR berlaku di Indonesia. 

Eksistensi UU No 22/1946 dan UU No 32/1954 ini adalah sebagai kelanjutan dari Stbl No 198/1895 dan sebagai pengganti dari Huwelijks Orgonatie Stbl No 467/1931 dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No 98/1933. Kemudian Departemen Agama melalui menterinya mengeluarkan Permenag mengenai wali hakim dan tata cara pemeriksaan perkara fasid nikah, talak dan rujuk di Pengadilan Agama. Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam
mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami, namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.

Langkah maju telah diupayakan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum di bidang perkawinan. Proses pengolahan
terhadap RUU Perkawinan cukup menguras tenaga dan waktu. Kepanitiaan yang telah dibentuk berdasarkan Surat Penetapan Menteri Agama No B/4299 Tanggal 1
oktober 1950 banyak menemui hambatan dalam melaksanakan tugasnya, salah satu faktornya ditenggarai oleh berbagai aliran antara satu panitia dengan yang lainnya. Usaha selanjutnya dalam upaya melahirkan UU Perkawinan, disaat acara simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) tanggal 29 Januari 1972 memberikan rekomendasi kepada pengurusnya agar kembali memperjuangkan RUU Perkawinan dan mendesak pemerintah agar mengajukan RUU Perkawinan kepada pemerintah agar dibahas kembali oleh DPR RI dan dilaksankan sebagai UU yang diberlakukan seluruh warga Indonesia

Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UUPerkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada
tahun 1973. Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang- Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

Indonesia sebagai Negara hukum mengatur mengenai perkawinan, secara konstitusional dijelaskan bahwa setiap hak setiap orang untuk melakukan perkawinan harus berdasarkan perkawinan yang sah. Hal tersebut diatur dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Selanjutnya dalam pasal 28B ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud perkawinan yang sah adalah perkawinan sesuai hukum agama dan Negara.

Dalam agama Islam, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun nikah serta tidak ada halangan nikah seperti: disetujui
mempelai pria dan wanita beserta keluarganya, ada saksi, wali, mas kawin, ijab qobul dan tidak ada halangan nikah dll. Adapun bila ditinjau dari hukum Negara, perkawinan telah sah jika telah sesuai dengan aturan agama dan telah dicatat di lembaga pencatatan nikah yakni kantor urusan agama atau catatan sipil. Hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia adalah UU No. 1 Tahun 1974 yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang mana dalam pasal  1 ayat (1) dinyatakan bahwa “ perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”. Begitu juga disebutkan dalam kompilasi hukum Islam bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan sakinah, mawaddah, warahma.

Berdasarkan kedua peraturan perundang-undangan di atas, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia yang kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Dalam rangka mewujudkan UU perkawinan sebagai alat rekayasa sosial tadi, tentu tidak semudah yang kita bayangkan. Banyak hal yang menjadi hambatan terutama dalam masyarakat itu sendiri dan aparatur penegak hukum. Oleh karenanya ada metode yang digunakan untuk menjadikan UU Perkawinan sebagai instrument yang efektif dan efesien agar tujuan dan kehendak pemerintahan dapat terlaksana. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai perubahan (transformasi) yang menekankan pada aspek struktur dan kultur masyarakat. Ini dilakukan bertahap, wajar, terarah serta terukur dalam rangka tertib hukum untuk memberikan perlindungan secara maksimal kepada masyarakat terutama para wanita dan anak yang sering menjadi korban akibat putusnya hubungan perkawinan.

Dan ketika muncul RUU Perkawinan Nasional yang dibuat departemen kehakiman, umat Islam memandang sebagai hukum sekuler, maka dengan segera umat Islam membuat RUU hukum perkawinan melalui departemen Agama membuat RUU yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Munculnya dua RUU ini berimbas kepada konflik kepentingan antar agama dalam persoalan perkawinan. Namun demikian ketegangan konflik kepentingan tersebut terjembatani oleh munculnya draft hukum perkawinan yang memperhatikan khebinakaan (pluralitas), yang dalam proses pemberlakuannya memperhatikan atau berorientasi kepada kepentingan integritas bangsa dan nasional. Hukum yang mengabdi kepentingan ini bukan berbentuk satu unifikasi hukum, dan diferensasi hukum. Inilah yang terjadi pada hukum perkawinan (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Undang-undang ini meskipun lahir dalam situasi konfigurasi politik tidak demokratis atau otoriter tetapi berkarakter responssif dan akomodatif. Artinya, walaupun pemerintahan Soeharto otoriter tetapi masih mengakomodasi aspirasi umat Islam. Dengan demikian, dalam kasus undang-undang perkawinan, teori yang mengatakan bahwa akomodatif dan politik yang otoriter menghasilkan hukum yang konservatif menjadi tidak efektif adalah pengecualian dari ketentuan umum (idiosinkrasi). Karena ada sebab tertentu.

Berikut Syarat-Syarat Dalam Perkawinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun