Mohon tunggu...
Qonita Salma
Qonita Salma Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Universitas Airlangga

I am someone who not only has an interest in the world of research and public speaking. I got all of this potential when I was active in formal and non-formal educational institutions. I am a person who likes to participate in social, educational, women and children activities in particular. With usefulness, I can find happiness and meaning in life

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengkajian Pemanfaatan Pajak Rokok dan Bea Cukai untuk Penambahan Pembiayaan Kesehatan SDG Poin 3

21 Agustus 2023   23:21 Diperbarui: 22 Agustus 2023   01:18 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Presentase perokok aktif di Indonesia khususnya di kalangan remaja terus meningkat di setiap tahunnya. “Jumlah perokok di dunia saat ini mencapai 70,2 juta orang atau sekitar 34,5 persen dari total populasi dunia. Indonesia juga negara penghasil tembakau sehingga hal ini menjadi salah satu faktor mengapa Indonesia menempati posisi ke-3 jumlah perokok terbanyak di dunia.” Ujar Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono. Angka ini menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia terutama dalam aspek Kesehatan. Isu kesehatan juga menjadi sorotan dalam rencana Pembangunan berkelanjutan atau SDGs poin ke-3 yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Terdapat 38 target SDGs di sektor Kesehatan yang perlu diwujudkan, diantaranya adalah upaya penurunan angka kematian pada ibu dan bayi. Salah satu faktor penyebab tingginya angka kematian pada ibu dan bayi karena terpapar dari asap rokok atau menjadi perokok pasif. Hal ini dikarenakan banyak perokok aktif yang tidak memiliki kesadaran untuk tidak merokok di sekitar keluarga terutama ibu dan bayi. Tantangan terbesar dalam melaksanakan agenda Pembangunan berkelanjutan di Indonesia nyatanya tidak hanya masalah reformulasi konsep atau paradigma Pembangunan yang terintegrasi dalam satu rangkaian proses manajemen Pembangunan, tetapi hal yang lebih berpengaruh adalah tentang substansif dari Masyarakat Indonesia sendiri. Dewasa ini pemerintah menetapkan sebuah kebijakan baru mengenai Pemanfaatan pajak rokok dan bea cukai sebagai regulasi dua sisi. Pajak ini tercantum pada UU 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pasal 31 yaitu Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan Kesehatan Masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Kemudian juga terdapat pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan Kesehatan Masyarakat yakni memaksimalkan penggunaan earmark (pendekatan pengelolaan keuangan publik, khususnya bidang penganggaran dan pengalokasian dana) pajak rokok sebagai kontribusi daerah dalam mendukung program jaminan Kesehatan. Dalam perpres 82 pasal 99 juga tertera bahwa pemerintahan Daerah wajib mendukung penyelenggaraan program jaminan Kesehatan yang berdampak pada pembagian realisasi penerimaan pajak rokok pada pemerintahan daerah sehingga dapat meningkatkan pemasukan pemerintahan daerah. Tak hanya menguntungkan pemerintah, kebijakan ini juga berperan untuk meningkatkan kualitas Kesehatan Masyarakat dan kualitas penegakan hukum mengenai larangan merokok. Hasil pajak ini akan dikembalikan kepada Masyarakat dalam bentuk pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan Kesehatan, penyediaan smoking area, kegiatan kemasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan Masyarakat mengenai bahaya merokok. Kemudian dalam aspek penegakan hukum diwujudkan dengan sokongan dana terkait agenda pemberantasan peredaran rokok illegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Regulasi ini menjadi solusi dari tersebarnya rokok beserta pabriknya yang seyogyanya  harus memiliki dampak positif kepada Masyarakat dalam bentuk pajak. Kemudian dengan adanya regulasi ini pula, Masyarakat sedikit demi sedikit akan mengurangi intensitas merokoknya menimbang dari harga rokok yang semakin mahal karena dikenai pajak. Di setiap tahunnya, bea cukai memiliki pengaruh terhadap angka perokok aktif di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya cara ini tidak cukup untuk menekan prevalensi perokok secara signifikan. Karena dalam rentan waktu enam tahun, tren prevelensi perokok hanya terlihat pada rentan umur 15 tahun ke bawah sedangkan perokok dewasa cenderung bisa beradaptasi pada meningginya harga rokok.

                Maksud dari terciptanya kebijakan pajak rokok untuk layanan Kesehatan memiliki tujuan yang memiliki lingkaran setan. Di sisi lain, alokasi pajak untuk layanan Kesehatan cenderung baik dan bisa diterima. Tetapi di lain sisi pajak rokok dan bea cukai meningkatkan pemasukan daerah, maka perlu dipertanyakan, apakah pemanfaatan pajak tersebut sengaja dibuat untuk meningkatkan kualitas pelayanan Kesehatan Masyarakat atau sebagai katalisator pemasukan daerah yang sengaja dirawat dan dibiarkan berkembang begitu saja. Selain itu, penayangan iklan rokok memang dibatasi seperti penayangan di atas jam 21.30 akan tetapi penayangan iklan rokok tidak menjadi regulasi  yang cukup tegas karena ditinjau dari segi income, iklan rokok memiliki harga pengiklanan yang cukup fantastis bahkan merogoh kocek triliunan rupiah. Dari kasus ini dapat diasumsikan bahwa pemerintahan memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap rokok sehingga mempengaruhi regulasi tentang tembakau yang dirasa kurang agresif dan kurang optimal. Belajar dari negara lain, bahwa yang menjadi kunci keberhasilan memberantas aktivitas merokok secara substansif adalah akses dan ruang. Negara-negara yang serius untuk menurunkan prevalensi perokok pasti mengatur dengan ketat mengenai distribusi dan akses rokok. Kemudian pandangan saya terhadap pemanfaatan pajak rokok alangkah lebih bagus jika pengalokasian dana pajak tidak hanya digunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan Kesehatan saja tetapi juga digunakan untuk mengalihkan petani tembakau beserta pabriknya untuk beranjak kepada sektor pertanian lain yang memiliki daya saing internasional. Dengan begitu seiring berjalannya waktu tembakau akan mulai ditinggalkan dan angka perokok di Indonesia juga semakin berkurang.  

#Amerta2023 #KsatriaAirlangga #UnairHebat #BanggaUNAIR #AngkatanMudaKsatriaAirlangga #BaktiKamiAbadi UntukNegeri #Ksatria11_Garuda5 #ResonansiKsatriaAirlangga #ManifestasiSpasial #GuratanTintaMenggerakkanBangsa.

Daftar Pustaka

Aprila Sari, I.M.D. 2010. Dana Bagi Hasil (DBH0 Cukai Hasil Tembakau Ditinjau dari Cukai Rokok, Kesehatan, dan Industri Rokok. Jurnal Universitas Airlangga. Yuridika Vol 25 No 1:70-88

Ispriyarso, Budi. 2018. Fungsi Reguler Pajak ROKOK DI Bidang Kesehatan Masyarakat dan Penegakan Hukum. Jurnal Undiversitas Diponegoro. Vol 47 No 3: 228-240


Soraya, Azizah. 2023. Kemenkes: Jumlah Perokok Indonesia Terbanyak Ketiga di Dunia. Retrieved from: Republika. Website:  https://news.republika.co.id/berita/rwa6sp463/kemenkes-jumlah-perokok-indonesia-terbanyak-ketiga-di-dunia

Sakti, Rangga Eka. 2022. Cukai Tidak Cukup Kendalikan Perokok. Retrieved from Kompas.id. Website: https://www.kompas.id/baca/riset/2022/01/14/cukai-tidak-cukup-kendalikan-perokok

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun