Kubutambahan, 12 April 2025, Tradisi Melasti di Desa Kubutambahan, Kabupaten Buleleng masih kerap dilaksanakan oleh para warga lokal untuk menjaga warisan budaya para leluhur. Melasti atau mekiis merupakan upacara untuk menyucikan 19 sarad atau Ida Bhatara yang ada di sejebag desa kubutambahan dan melasti ini juga dijadikan sebagai bentuk sujud syukur masyarakat Desa kubutambahan, karena Catur Brata Penyepian sudah terlaksana dengan baik dan upacara ini dilakukan setelah hari raya nyepi dan bertepatan pada purnama kedasa. Upacara ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Desa Kubutambahan terkecuali sebel (cuntaka) atau sedang berada diluar kota. Tradisi melasti di Desa Kubutambahan, Buleleng, dikenal sangat sakral dan berbeda dari daerah lainnya di Bali. Masyarakat setempat meyakini upacara ini sebagai bagian penting dari kehidupan dan budaya mereka, sehingga aturan saat pelaksanaannya sangat ketat dan sakral.
Upacara ini tentunya merupakan salah satu tradisi yang menjadikan ciri khas di Desa Kubutambahan karena didukung dengan adat istiadat serta budayanya yang masih sangat kental. “Melasti di Desa Kubutambahan ini sedikit berbeda dengan melasti di Desa-Desa lainnya di Bali, melasti di Kubutambahan biasanya dimulai dari pagi hari (jam 8 pagi) hingga petang (jam 12 malam), melasti di Kubutambahan terdiri dari beberapa sarad yang berasal dari Pura-Pura yg ada di Desa Kubutambahan. saat prosesi melasti berlangsung, ketika ada sarad lewat kendaraan (motor/mobil) harus dimatikan dan orang-orangnya juga harus turun dari kendaraannya”. Ujar Kadek Utari Handayani, salah satu warga asli desa kubutambahan.
Karena apabila jika salah satu pengendara yang lewat tidak turun dari kendaraannya ditakutkan akan terjadi hal-hal buruk terjadi pada orang tersebut. Salah satu kejadian yang pernah terjadi saat melasti di Kubutambahan dilaksanakan ialah, pengendara yang hanya duduk diatas kendaraan akan diamuk, ditabrak atau di rusak oleh penyungsung Ida Bhatara. Dan perusakan atau pengamukan itu terjadi secara tidak sengaja yang dimana bisa dikatakan sedang berada dibawah alam kesadaran sang penyungsung atau peserta yang mengikuti tradisi melasti di Desa Kubutambahan tersebut. Hal inilah yang disebutkan sakral pada saat pelaksanaan melasti yaitu, sifat pingit Pelinggih Ida Bhatara, “Pelinggih”(benda sakral) Ida Bhatara yang dibawa saat upacara berlangsung memiliki sifat pingit atau sangat sakral dan sensitif. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat kehilangan kesadaran saat membawanya karena pengaruh spiritual yang sangat kuat.
Melasti Desa Kubutambahan dilaksanakan dari Pura Desa kubutambahan (Pura Bale Agung) lalu berhanti di Pura-Pura sekitar Kubutambahan hingga ke Bungkulan, Sangsit, dan Desa Bukti lalu ke Pura Segara Kubutambahan untuk melakukan pembersihan kemudian kembali lagi ke Pura Desa Kubutambahan. Pelaksanaan upacara ini diawali dengan masyarakat setempat melakukan persiapan di Pura masing-masing, lalu melaksanakan sembahyang bersama di Pura Bale Agung sebelum berangkat ke Pura Segara yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. Dan sesampainya di Pura Segara, masyarakat Desa Kubutambahan meminta tirta. Dan tirta ini dibagikan kepada semua masyarakat, sebagai bentuk syukur atas pelaksanaan penyepian. Upacara melasti ini harus dilaksanakan karena harus diadakan ritual untuk membersihkan sarad-sarad (dewa-dewa) yang ada di Desa Kubutambahan sebelum puncak upakara, sama halnya seperti manusia harus membersihkan diri (mandi) dulu sebelum sembahyang ke pura.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI