"Bali tidak hanya indah karena alamnya, tetapi karena cara warganya menjaga harmoni antara Tuhan, manusia, dan alam."
Di tengah hiruk-pikuk modernisasi dan ambisi pembangunan global, ada satu filosofi dari Pulau Dewata yang tetap kokoh berdiri: Tri Hita Karana (THK).
Filosofi ini mengajarkan keseimbangan hidup antara spiritualitas, sosial, dan alam. Uniknya, ajaran ini tidak berhenti sebagai nilai budaya, tetapi kini menjadi fondasi pembangunan daerah Bali sekaligus inspirasi bagi manajemen organisasi modern.
Yuk, kita telusuri bagaimana kearifan lokal ini mampu menjawab tantangan zaman dan menginspirasi dunia kerja masa kini
Makna Tri Hita Karana: Tiga Sumber Kebahagiaan
Tri Hita Karana berasal dari tiga kata Sanskerta: tri berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan karana berarti penyebab. Secara utuh berarti tiga penyebab kebahagiaan.
Tiga harmoni yang dimaksud adalah:
- Parahyangan : hubungan harmonis manusia dengan Tuhan,
- Pawongan : hubungan harmonis manusia dengan sesama, dan
- Palemahan : hubungan harmonis manusia dengan alam.
Konsep ini sederhana, tapi maknanya dalam: manusia baru bisa hidup bahagia jika ia mampu menjaga keseimbangan ketiga relasi tersebut.
Tri Hita Karana dalam Kebijakan Pembangunan Daerah Bali
Bagi Pemerintah Provinsi Bali, Tri Hita Karana bukan hanya filosofi budaya, tapi juga pedoman kebijakan pembangunan. Nilai-nilainya diintegrasikan dalam berbagai bidang: tata ruang, sosial, hingga pelestarian lingkungan.
Parahyangan: Spiritualitas dalam Pembangunan
Melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah menetapkan kawasan suci yang tidak boleh dijadikan lokasi pembangunan.
Pembangunan ekonomi dan infrastruktur harus sejalan dengan nilai spiritualitas masyarakat, bukan merusaknya.
Inilah bentuk pembangunan yang berakar pada nilai religius modern, tetapi tetap berjiwa.