Mohon tunggu...
Putu Djuanta
Putu Djuanta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keen on capital market issues, public relations, football and automotive | Putu Arya Djuanta | LinkedIn | Yatedo | Twitter @putudjuanta | https://tensairu.wordpress.com/ | https://www.carthrottle.com/user/putudjuanta/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KPK dan Pandangan Negatif pada Pimpinannya

2 Januari 2016   03:09 Diperbarui: 2 Januari 2016   03:09 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini bukan pertama kalinya publik dibuat terheran dengan hasil seleksi pimpinan institusi negara. Sebelumnya, penunjukkan Setya Novanto menjadi ketua DPR sudah dianggap aneh karena yang bersangkutan dikenal sebagai kasir partai. Untunglah the truth has revealed itself. Setya Novanto tersangkut kasus papa minta saham sehingga ia minta mundur setelah melewati persidangan MKD secara tertutup.

Bagaimana dengan hasil seleksi lainnya, dalam hal ini pimpinan KPK? Sulit dipercaya namun nyata, pimpinan baru KPK dianggap 'bersahabat' dengan DPR, institusi yang minim prestasi dan beberapa kali melahirkan koruptor. Maka tidak salah jika publik menilai bahwa KPK bakal berbeda dari wujud sebelumnya. Baru dilantik Presiden, ke-5 pimpinan KPK sudah dianggap mengecewakan.

Ibarat sebuah kendaraan, KPK baru saja melewati fase turun mesin. Padahal publik belum lupa, betapa manisnya melihat anggota DPR yang tertangkap tangan walau sudah berusaha bermain cantik. KPK yang belum lama ini menjerat anggota DPR dari Hanura Dewie Yasin Limpo dkk melalui operasi tangkap tangan, seolah beralih falsafah menjadi komisi yang 80% rencananya fokus pada pencegahan.

Apakah korupsi bisa dicegah? Kapan dan siapa yang bisa mencegah? Berikut pemaparannya dari sudut pandang anti money laundering.

Korupsi sangat erat dengan tindakan pencucian uang yang umumnya dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu (1) Placement, (2) Layering dan (3) Integration. Dalam konteks pencegahan, KPK dituntut responsif sebelum koruptor melakukan tahapan pertama. Artinya, KPK harus mengenal objek-objek yang akan dikorupsi dan siapa 'lingkaran' dari pihak-pihak yang diduga menjadi perencana maupun pelaksana tindakan korupsi.

Permasalahannya, titik korupsi bukan hanya di kota besar. Bukan hanya di level kepala daerah dan tidak terjadi sesekali saja. Praktik KKN bisa melibatkan korporasi swasta yang belum sepenuhnya menjadi domain KPK. Tanpa adanya whistle blower yang punya bukti-bukti meyakinkan, suap-menyuap perizinan usaha, pelaksanaan tender non-prosedural maupun penyalahgunaan anggaran belum bisa ditelisik langsung oleh KPK.

Pencegahan yang digembar-gemborkan sulit terealisasi tanpa adanya komitmen kuat dan dukungan eksternal untuk mencegah korupsi. Lalu jika KPK bicara tentang pembenahan sistem, dapat diasumsikan korupsi masih tetap subur dan merajalela. Pembenahan sistem butuh perjuangan berat bagi mereka yang terlanjur nyaman dengan cipratan korupsi. Disinilah berlaku ungkapan old habits die hard.

Koruptor bisa memainkan perannya sebagai tokoh maupun figur yang pintar memikat hati banyak orang. Permasalahan lainnya, masyarakat belum tentu berani untuk berperan aktif sebagai whistle blower. Buat apa melawan koruptor yang punya uang dan kekuasaan? Akankah ada perlindungan untuk pihak yang sanggup membongkar praktik korupsi dengan masih adanya oknum penegak hukum yang bisa 'dibeli'?

Maka kesimpulannya, KPK tidak bisa hanya fokus pada pencegahan. Penyadapan harus menjadi senjata utama untuk menjerat koruptor. Jika ekspektasi publik begitu tinggi, dan hanya ditawarkan solusi standar berupa pencegahan, pandangan negatif pada KPK jilid baru akan sulit dihilangkan. Berdampak pula pada peringkat Corruption Perception Index Indonesia yang sulit menembus jajaran papan atas.

Saya pribadi berharap, semoga saja pimpinan KPK bisa menepis keraguan publik dan bahkan melampaui target dan harapan kita semua. Sudah saatnya koruptor dilawan sampai titik darah penghabisan. Tanpa perlawanan serius terhadap koruptor, bangsa ini akan semakin rusak ketika dititipkan pada generasi penerusnya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun