Aku lahir dari dua darah: ayahku Bali, ibuku Jawa. Secara teori, harusnya aku jadi "anak dua budaya" yang keren --- bisa menari Bali sekaligus fasih ngomong halus ala orang Jawa. Tapi kenyataannya? Kalau disuruh ngomong dua-duanya, levelku masih "turis lokal yang paham tapi nggak bisa jawab."
Aku ngerti kalau orang ngomong Jawa, bisa ketawa di momen yang tepat waktu dengar orang Bali bercanda, tapi giliran aku yang disuruh bales? Auto blank. Jadi kalau ada keluarga dari dua sisi datang bareng, aku cuma bisa pasang senyum diplomatis --- sambil berharap mereka semua segera ganti topik ke Bahasa Indonesia.
Tumbuh di Rumah Serba Nasional
Di rumah, Bahasa Indonesia jadi bahasa utama. Katanya biar "nggak bingung." Tapi ternyata efeknya, aku justru kehilangan kedekatan emosional dengan dua bahasa asliku. Karena setiap kali ibu ngomong pelan dalam bahasa Jawa, aku tahu itu kalimat lembut. Tapi saat aku coba tiru, hasilnya malah kayak mantra.
Ayah juga nggak kalah lucu. Beliau kadang masih ngomong Bali ke temannya lewat telepon, tapi giliran aku lewat, langsung switch: "Nak, tolong ambilin air, ya."
Seolah Bahasa Bali itu hanya untuk percakapan rahasia antar orang dewasa.
Ironi Anak Multi-Budaya di Era Digital
Sekarang aku tinggal di Lombok. Harusnya tambah keren dong, punya tiga latar budaya: Jawa, Bali, dan Sasak. Tapi realitanya? Aku nggak fasih satu pun. Kalau di warung dengar ibu-ibu ngobrol pakai Bahasa Sasak, aku cuma bisa nebak-nebak. Kadang tebakanku bener, kadang zonk.
Pernah suatu kali, aku dengar mereka bilang "bau" (yang artinya boleh). Kupikir apanya yang bau? Dari situ aku sadar: ngerti bahasa belum tentu bisa hidup di dalamnya.
Lucunya, di zaman yang katanya "era multikultural", justru makin banyak anak muda kayak aku. Lahir dari dua atau tiga latar budaya, tapi hidup sepenuhnya dalam Bahasa Indonesia --- atau malah, Bahasa Inggris. Kita tahu "thank you" lebih dulu daripada "matur nuwun" atau "suksma." Ironis, ya?
Bahasa yang Bukan Sekadar Alat Bicara
Semakin dewasa, aku makin sadar: bahasa itu bukan cuma soal kata, tapi cara kita merasakan dunia.
Bahasa Jawa punya kelembutan dan tata krama yang khas. Bahasa Bali punya ritme dan ekspresi yang tegas tapi hangat. Bahasa Sasak punya kejujuran dan spontanitas yang jarang dimiliki bahasa lain. Tapi karena aku nggak tumbuh dengan mereka, nuansa itu lewat begitu saja.
Kadang aku iri sama teman yang bisa dengan bangga ngomong "Aku wong Jogja!" atau "Aku orang Lombok asli!" dengan logat khasnya. Karena aku sendiri... nggak tahu harus pakai logat yang mana.
Orang Tua dan "Niat Baik" yang Bikin Jauh
Orang tuaku nggak salah. Mereka hanya ingin mempermudah anaknya. Bahasa Indonesia dianggap jembatan, tapi tanpa sadar justru memutus akar.
Mereka pikir, "yang penting anaknya bisa ngomong jelas." Tapi mereka lupa, bahasa daerah bukan cuma alat bicara, tapi juga cara menanamkan nilai.