Mohon tunggu...
PUTRIYANA ASMARANI
PUTRIYANA ASMARANI Mohon Tunggu... Editor - Bookstagrammer

Lahir di Mojokerto. Esai, resensi, puisi, dan cerpennya terbit di media lokal dan internasional; Jawa Pos, The Suryakanta, TelusuRI, The Jakarta Post, Cassandra Voices, Indian Periodical, dst.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Joseph Conrad dalam Intrik Despotisme dan Megalomania

17 Maret 2024   05:08 Diperbarui: 17 Maret 2024   07:36 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram @Putri_shelf

Judul: An Outcast of The Island

Penulis: Joseph Conrad

Tahun Terbit: 1996

Penerbit: Everyman

ISBN: 0 460 877732

Jumlah Halaman: 384


Ketebalan: 129 x 197 x 20mm

 

            Muncul sebagai prekuel Almayer's Folly, An Outcast of The Island menadah arketipe intrik imperialisme dan despotisme para koloni di Semenanjung Melayu. Dua karya ini adalah babakan pertama di mana karya-karya Joseph Conrad selanjutnya berpijak dan menemui kekhasan penulisnya; epik dekaden, anti-hero, nihilisme, keputusasaan, ketidakberdayaan, kolonialisme, serta megalomania.

            An Outcast of The Island, sebagaimana Almayer's Folly, memusat pada kondisi imperialisme dan perseteruan komersil di Semenanjung Melayu sekitar abad 19 khususnya di Makasar, Borneo, dan Sambir. Dalam kontestasi pendudukan, saat itu Semenanjung Melayu berada dalam politik monopoli dagang Inggris yang memanfaatkan lingsirnya kekuatan Belanda. Relasi kekuasaan koloni, dalam novel, menemui titik seterunya atas jejak kaotik imperium koloni Portugis, persaingan dagang pahit-manis Belanda dan Inggris, menyusupnya konspirasi saudagar Arab dalam laga monopoli, serta resistansi gerakan pribumi di bawah kemudi para penyamun Sulu.

            Di Eropa, di awal karya-karya Joseph Conrad meroket, orang menganggapnya sebagai pakar fiksi petualangan samudra, mengunjungi pulau-pulau barbar eksotis. Namun dalam perkembangannya, karya-karyanya menjadi iktibar dan cakrawala relasi kekuasaan dan praktik imperialisme dan kolonialisme. Misalnya, berbeda dengan konsep penulisan sejarah yang kerap mendistorsi konflik hanya dengan satu kata kerja 'Belanda melawan Inggris', An Outcast of The Island bisa menjadi referensi penting untuk mengisi kecelakaan minimalis dalam narasi historis.

            Saya cukup beruntung tidak membaca novel ini dalam tahun kabisat, karena itu berarti membutuhkan dua bulan untuk memereteli skema despotisme dan relasi kekuasaan antar imperialis yang korup dan najis luar biasa. Selama tiga puluh hari, saat itu bulan Februari, saya menuntaskan novel ini dibantu dengan segudang referensi. Waktu telah tercurahkan sedemikian rupa karena novel ini achornical, tanpa sebelumnya membaca Almayer's Folly, mungkin pembaca akan tersesat.

            Tikungan plot cukup panjang sehingga sulit menghubungkan kejadian satu dan kejadian lainnya. Banyak sekali percakapan yang tidak mencantumkan siapa yang bicara dan siapa pula yang menanggapinya. Sehingga ini membutuhkan kesabaran untuk kembali pada paragraf atau bab sebelumnya hanya untuk mencari pendapat mana yang lebih memungkinkan diungkapkan oleh siapa. Perubahan perspektif terjadi begitu tiba-tiba, dan saya sebagai pembaca mengalami jet lag beberapa kali hanya karena perubahan mendadak tersebut.

Semua ini tidak lepas dari dan disebabkan oleh betapa eksesif kecemasan eksistensial dan megalomania Peter Willems tokoh utama, juga romantisasi Kapten Lingard. Ketimpangan ini begitu terasa dan sebagai pembaca saya nyaris ingin mengajukan perubahan judul pada Joseph Conrad, bagaimana kalau diganti Buku Harian Willems saja.

Jadi, apakah novel ini begitu padat, menjengkelkan, dan menguras tenaga? Padat informasi dan menguras tenaga, tentu saja. Tapi tidak menjengkelkan sama sekali. Berbeda dengan kebanyakan orang yang mengenal Joseph Conrad dari karya bangkotannya Heart of Darkness, saya pertama kali mengenalnya dari An Outcast of The Island tanpa sebelumnya membaca Almayer's Folly. Sejak itu, saya begitu bombastis mencintai Joseph Conrad, sangat terobsesi dengannya sampai saya bercita-cita untuk mengarungi Tujuh Samudra hanya untuk mengunjungi makam Joseph Conrad di pusara Canterbury, Britania Raya.

Bagi beberapa pembaca mungkin rasa ketidaknyamanan bisa dengan sengaja muncul karena novel ini gelap dan suic*dal. Bagi pembaca yang disarankan dokter jiwa untuk menghindari trigger, mungkin novel ini tidak direkomendasikan. Novel ini bercerita tentang Willems si narsis megalomania juga monomania dalam puncak kejayaannya di bawah kedermawanan Hudig & Co. Dulunya ia hanya orang Belanda buangan yang kebetulan terdampar di kapal dagang Belanda, Hudig & Co. Ia tumbuh besar disokong Hudig & Co dan dinikahkan dengan gadis Portugis kebanggaan Hudig.

Tapi ia kemudian dikhianati orang-orang yang paling ia percaya, di tambah ia sendiri telah berbuat nista pada praktek kerjanya, korup dan menilap uang. Ia dibuang secara tidak hormat dan memutuskan untuk bund*r. Tapi lagi-lagi ia orang tinggi hati satu ini menerima kebaikan dari Lingard & Co. Kapten Lingard, penguasa dagang Inggris, terkenal sebagai Rajah Laut. Julukan ini kemudian sangat populer dilahirkan Joseph Conrad diperkenalkan di kancah literatur dunia.

Kembali pada Willems, Lingard & Co membeberkan rahasia Hudig & Co tentang pernikahan Willems dengan gadis Portugis ayu yang ternyata hanya untuk memuluskan politik dagang Hudig. Gadis Portugis ini ternyata juga bukan anak halal Hudig, bukan pula simbol kebangaan Hudig yang selalu didengar Willems. Willems menyadari ternyata selama ini ia hanya sebagai 'alat' belaka. Dari sini saya kemudian mendapatkan pengalaman kondisi mental orang narsis yang terluka.

Cerita tidak berhenti di sana. Kasihan dengan Willems, Lingard memberinya posisi untuk menempati pos dagang di Borneo Timur, berharap agar wilayah ini bisa 'terkendali dengan baik'. Ini wilayah yang sama di mana ada pos dagang Belanda di bawah naungan Hudig yang ditugaskan pada Kaspar Almayer. Konspirasi mengental di bagian ini. Willems harus membuktikan dirinya bisa berkompetisi melawan bangsanya sendiri dan mengembalikan kebanggaannya yang telah dirampok. Hanya saja Willems malah terbawa arus melankolis ke Sambir.

Di Sambir terdapat raja lokal, Lakamba yang punya sohib mantan penyamun bermata satu, Babalatchi. Di tempat ini Willems bertemu dengan Aiisa, putri dari petarung yang kini cacat dan dendam setelah melawan Belanda. Aiisa merawat bapaknya yang uring-uringan, Willems jatuh cinta padanya sebagaimana Aiisa jatuh cinta pada Willems. Di mata Babalatchi dan Lakamba, romansa ini bisa dijadikan siasat untuk memonopoli dan membuka pos dagang Arab baru di Sambir.  Dendam dengan Orang Belanda yang telah membuat bapak Aiisa cacat dan hidup Aiisa menderita, tentu saja Willems sulit diterima dan dipercaya. Untuk membuktikan cintanya pada Aiisa, itu berarti Willems harus menumbangkan Almayer (pos dagang Belanda) dan mengkhianati Lingard (pos dagang Inggris).

Di Semenanjung Melayu, Belanda dan Inggris adalah dua rival raksasa yang tentu saja tidak mudah ditumbangkan. Untuk itu, Willems, Lakamba, dan Babalatchi meminta bantuan Syed Abdulla untuk keberhasilan terbukanya pos dagang Arab di Sambir. Bagaimana kisah ini berlanjut dan berakhir, tentu saja akan menjadi spoiler tak termaafkan. Karena di sini lah letak magisnya Joseph Conrad dalam menuliskan kejutan-kejutan tak terduga.

Detail Sastrawi yang Mencengangkan

            Membentangkan skema plot memang cukup menantang. Tapi novel ini sangat memikat dan memuaskan. Kira-kira, menurut saya, ada paling tidak sepuluh alasan yang bisa membuat novel ini begitu patut dicintai. Dua di antaranya yang menurut saya paling dominan adalah penjabaran kondisi psikologis dan penggambaran filosofis alam.

            Joseph Conrad khusus menyediakan porsi akbar hanya untuk menjabarkan kondisi psikologis beberapa tokoh. Di tulis di tahun 1896, di mana novel-novel Eropa cenderung mengisahkan epik dan meromantisasi tokoh-tokoh, Joseph Conrad dengan kepiawaian dan keberaniannya menyodorkan tokoh-tokoh negatif dan depresif. Novel ini tidak dicekik kaidah-kaidah protagonis yang harus heroik. Protagonis tidak dibebani optimisme atau sifat-sifat positif lainnya. Ia bisa menjadi entitas depresif misalnya. Keterbukaan semacam ini, membantu temuan gejala psikologis pengidap megalomania dan pola keputusasaan yang nantinya semakin parah. Misalnya;

"The tremendous fact of our isolation, of the loneliness impenetrable and transparent, elusive and everlasting; of the indestructible loneliness that surrounds, envelops, clothes every human soul from the cradle to the grave, and, perhaps, beyond."

"Fakta pengasingan kelewat batas kita ini, tentang kesendirian tak terkira dan begitu nyata, sulit dimengerti dan kekal menyakiti; tentang kesendirian yang tak dapat diperangi, yang terus membuntuti, menjadi busana yang menyelimuti jiwa manusia dari buaian hingga alam baka, dan, mungkin, hingga melampauinya." (Penulis: Terjemah bebas)

Selanjutnya, novel ini membebaskan diri untuk bercerita dengan apa adanya, bahkan bisa dengan leluasa menjabarkan babak-belur moral. Misalnya dalam cuplikan berikut ini;

"They walk the road of life, the road fenced in by their tastes, prejudices, disdains or enthusiasms, generally honest, invariably stupid, and are proud of never losing their way."

"Di kehidupan ini mereka menjalani belenggu lelakon dari selera, prasangka, sikap merendahkan, biasanya jujur, seringnya bodoh, dan bangga telah mempertahankan kehidupan semacam ini." (Penulis: Terjemah bebas)

Sastra petualangan kerap terjebak atau tergelincir pada lubang eksotisme alam, tentang betapa perawan pulau tertentu atau pribumi barbar nan polos yang tak berbudaya, tak beradab. Keadaan ini berbalik dengan bagaimana Joseph Conrad menjabarkan kondisi alam. Ia memandang alam sebagaimana makhluk hayati yang bernapas dan bisa membisikkan padanya tentang tanda-tanda. Alam sangat hidup, sama hidupnya dengan tokoh-tokoh manusia. Dalam kajian kolonial, Joseph Conrad bahkan menunjukkan kegelisahan hutan-hutan Sambir yang tumbang pohonnya disebabkan oleh kapak-kapak bikinan koloni.

Habitat dalam relasinya dengan manusia tidak dibentuk untuk pembuktian kejantanan sebagaimana novel petualangan picisan yang bergulat dengan buaya ngarai dan ular-ular anakonda untuk membuktikan kekar otot petarung. Sama sekali tidak ada. Alam digambarkan dengan personifikasi yang lebih gelisah dan filosofis, contohnya;

"Instinctively he glanced upwards with a seaman's impulse. Above him, under the grey motionless waste of a stormy sky, drifted low black vapours, in stretching bars, in shapeless patches, in sinuous wisps and tormented spirals. Over the courtyard and the house floated a round, sombre, and lingering cloud, dragging behind a tail of tangled and filmy streamers---like the dishevelled hair of a mourning woman."

"Naluriah seorang pelaut mendorongnya untuk medongak. Di atasnya, di bawah kelam langit yang mematung setelah gemuruh tersisa, kabut hitam menukik rendah, membentuk garis memanjang, dalam acak bercak, dalam embusan angin berserabut dan berpilin-pilin. Di halaman dan rumah mengambang awan bundar, suram awan kelam tak enyah, yang membuntuti para pelaut resah---sebagaimana kusut rambut perempuan yang berduka." (Penulis: Terjemah bebas)

            Sebagai fiksi sejarah, An Outcast of The Island, secara eksklusif menuntaskan kejanggalan dan membeberkan intrik kotor imperialisme di Semenanjung Melayu. Ia membuka peluang besar untuk eksplorasi lebih lanjut ketimpangan dalam sejarah dan relasi kekuasaan antar koloni. Tidak hanya itu, novel ini begitu terbuka soal dekadensi, kemerosotan moral, dan kondisi depresi para tokohnya. Keterbukaan ini tentunya menjadi wawasan untuk mendalami narsisme para penguasa bandar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun