Kita semua pasti pernah merasakan sedih. Ya, perasaan emosional yang wajar dialami semua manusia. Dengan kondisi dan penyebab yang berbeda. Namun, bagi mahasiswa perantau akan selalu merasakan emosional ketika mendengar suara takbiran. Mengingat hal itu, membuat dirinya tak bisa menginjak kampung halaman. Lantas bagaimana nasibnya seorang diri? Harus bangun pagi sendiri, melangkah kan kaki menuju masjid untuk melaksanakan sholat Eid Adha. Melihat sapi, domba, dan kambing disembelih seorang diri dan kembali berkutik dengan kesibukannya demi melupakan perasaan itu.
Ini bukan pertama kalinya aku merayakan Eid Adha tanpa keluarga. Sudah 4 tahun aku melewati rasa ini, mendengat takbiran membuat hati ini goyah dan mengingat kembali masa kecil yang selalu ada keluarga di sekitar. Namun, manusia beranjak dewasa dan tidak terpaku dalam satu masa saja. Ada saatnya kita harus belajar bagaimana rasa itu diolah dengan baik, belajar bagaimana kita bisa survive sendiri, bagaimana kita bisa berdiri di kaki sendiri.
Eid Adha tahun ini, aku memutuskan untuk mengisi kekosonganku dengan mengelilingi indahnya kota Jogja. Benar kata orang, bahwa Jogja itu Istemwa. Aku sepakat dengan slogan "Jogja Istimewa". Padahal aku sudah lama tinggal di tanah kelahiran mamaku. Tapi setiap mengelilinginya terutama malam hari, tak pernah aku tak terpukau akan kecantikan kota ini. Dengan motor yang dikendarai Tazkia, salah satu sahabat dekatku berdarah Sunda yang juga merasakan rasa yang sama dengan yang aku rasakan. Setelah makan di pinggiran jalan sekitaran UGM, aku tidak ingin untuk cepat - cepat kembali memasuki kamar yang rasanya hampa itu. Aku sedang menginginkan makanan favorite yang sudah lama tak ku sentuh. Dimsum mentai kesayanganku, kali ini aku ingin makan di NimNoms Dimsum. Salah satu tempat dimsum ter-enak di Jogja. Motor yang dikendarai oleh Tazkia melaju mengarah tempat tersebut. Namun, ketika sudah sampai disana kekecawaan terukir di wajahku. Sayangnya, toko itu tutup. Motor yang kami kendarai kembali melaju dengan tujuan ke Alun - Alun Kidul, dengan harapan kami mencari UMKM Jogja yang bisa kami wawancarai untuk memenuhi tugas UAS Jurnalistik.
Tetapi, hanya lapangan bersih dan kosong yang di tangkap oleh indra penglihatanku dan Tazkia, kita tertawa karena kita menyadari bahwa ini adalah malam takbiran, tak mungkin biasanya orang -orang berjualan di malam takbiran karena mereka pun juga sibuk untuk menyiapkan Eid Adha. Namun, kami tidak menyerah begitu saja. Aku teringat bahwa Thumbas Dimsum yang berada di daerah Sapen sejak tadi siang itu buka. Kami bergegas pergi melewati pusat kota Jogja yang indah dengan lampu - lampu yang cantik. Budaya Jogja yang mengagumkan dengan masyarakat nya yang ramah. Aku berterimakasih kepada ayahku telah mendapatkan istri bertanah kelahiran asli Jogja, sehingga sejak kecil aku selalu bolak balik Dumai - Jogja. Namun, ketika kecil aku tidak bisa merasakan nikmat ini. Ketika sudah beranjak dewasa dengan hectic nya kegiatan sehari - hari, aku merasa bersyukur diberikan nikmat untuk bisa merasakan ini semua. Sebuah healing yang bantu mengendalikan kewarasan yang stress akibat lelahnya sehari - hari.
Tazkia turun dari motor dan bertanya kepada penjual apakah dimsum nya masih ada? Dan, yap! Penjual memberikan jawaban yang membuatku dan Tazkia tertawa kembali. Dimsum nya telah ludes terjual! Oke, aku tak menyerah! Aku teringat bahwa ada yang menjual dimsum mentai di daerah Balirejo, langsung tancap gas kesana! Dan.. ya.. ketika kita melewati jalanan itu, kita melihat rombongan takbiran dengan suara yang lantang melantukan takbir dengan membawa macam - macam kreativitas mereka, ada yang membawa obor, ada yang membawa bendera, dan lain - lainnya. Tak lupa dengan iringan drum yang bisa dibawa kemana - mana itu. Aku jadi teringat, ketika aku SD kelas 6, aku adalah anak - anak kecil itu yang berkeliling sambil memegang properti dan melantunkan takbir dengan lantang. Tapi sekarang sudah berubah, aku adalah seorang mahasiswa yang sudah tumbuh lebih besar, meninggalkan kenangan waktu kecil itu. Kadang ngomong dalam hati dengan senyuman yang terukir di wajah, "aku pernah di posisi itu, seru banget ya?"
Sesampainya di Balirejo, lagi dan lagi aku dan Tazkia tertawa karena penjual dimsunya tidak membuka kedai. Alhasil, aku membawa motor berhenti di depan mas - mas jualan bakpau. Aku dan Tazkia duduk disana sambil mewawancarai penjual dan tertawa bersama. Sedetik kemudian, aku dan Tazkia terkejut melihat kembang api indah di langit.
Di malam yang penuh gema takbir, di tengah keramaian yang justru terasa sepi bagi seorang perantau, aku belajar satu hal penting: kesendirian bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari sunyinya kamar, dari jalanan Jogja yang lengang, dari tawa bersama sahabat yang senasib, aku menemukan kehangatan yang berbeda. Bukan lagi kehangatan keluarga yang dulu selalu ada, melainkan kehangatan dari penerimaan dan rasa syukur atas perjalanan yang sedang kujalani.
Eid Adha kali ini memang tidak sempurna. Tidak ada hidangan favorit, tidak ada pelukan ibu, tidak ada canda tawa seluruh keluarga. Namun, aku belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana.. tawa di atas motor, obrolan ringan dengan penjual bakpau, hingga kembang api yang tiba-tiba menghiasi langit malam. Semua itu adalah pengingat bahwa hidup terus berjalan, dan kita pun terus bertumbuh.
Menjadi dewasa berarti belajar merangkul segala rasa---termasuk rindu, sepi, dan kecewa. Namun, di balik semua itu, selalu ada ruang untuk bersyukur dan menikmati momen yang ada. Jogja, dengan segala keistimewaannya, mengajarkan aku untuk tidak hanya merindukan rumah, tapi juga menciptakan rumah di mana pun aku berada. Karena sejatinya, rumah adalah tempat di mana hati kita merasa tenang, meski hanya ditemani satu sahabat dan sepotong bakpau hangat.
Untuk semua perantau di luar sana, yang mungkin malam ini juga merayakan Eid Adha dalam sunyi, percayalah: kamu tidak benar-benar sendiri. Ada banyak hati yang juga berjuang, tertawa, dan menangis bersamamu dalam diam. Semoga kita semua selalu diberi kekuatan untuk menemukan makna di setiap perjalanan, dan kebahagiaan dalam setiap langkah, sekecil apa pun itu.