Mohon tunggu...
Putri Noerfadhila
Putri Noerfadhila Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Manajemen yang gemar merangkai kata dan mengeksplorasi ide lewat tulisan. Menemukan inspirasi di antara tumpukan buku, alunan musik, dan dinamika kehidupan sehari-hari. Menulis untuk berbagi, merenung, dan tumbuh bersama.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Bare Minimum, Terima Kasih, Minta Tolong, dan Maaf : 4 Hal Sederhana yang Mulai Dilupakan

19 Juni 2025   17:35 Diperbarui: 19 Juni 2025   19:11 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Axialent.com

Perkembangan zaman membawa perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia, termasuk dalam cara berinteraksi. Kini, ketika efisiensi dan kecepatan menjadi prioritas, banyak nilai-nilai kesopanan yang mulai terabaikan. Ungkapan sederhana seperti terima kasih, minta tolong, dan maaf semakin jarang terdengar dalam komunikasi sehari-hari. Di sisi lain, muncul fenomena bare minimum, yaitu sikap melakukan sesuatu hanya sebatas kewajiban paling dasar, tanpa empati atau kepedulian lebih. Padahal, hal-hal kecil ini memiliki pengaruh besar dalam menjaga harmoni sosial. Artikel ini berargumen bahwa mempertahankan penggunaan tiga ungkapan sopan serta menjauhi sikap bare minimum merupakan hal penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan beradab.

Bare Minimum: Bentuk Relasi yang Dingin dan Fungsional
Menurut psikolog hubungan Dr. Lindsay Gibson (2021), bare minimum dapat menciptakan relasi yang tidak sehat karena cenderung transaksional dan tidak dilandasi empati. Dalam konteks pertemanan, misalnya, seseorang yang hanya muncul saat butuh bantuan, tanpa pernah hadir dalam situasi lain, menunjukkan relasi yang tidak setara. Dalam dunia kerja, sikap ini terlihat dari karyawan yang hanya melakukan pekerjaan seminimal mungkin untuk menghindari sanksi, bukan karena rasa tanggung jawab.

Sikap ini jika dibiarkan menjadi budaya akan melahirkan generasi yang pasif, tidak peduli, dan tidak memiliki kepedulian sosial. Dalam konteks kehidupan kampus, mahasiswa yang terbiasa dengan bare minimum akan sulit berkembang, karena hanya berfokus pada kewajiban, bukan pada proses belajar dan kontribusi.

Terima Kasih, Minta Tolong, dan Maaf: Tiga Pilar Etika Sosial yang Teruji Waktu
Psikolog sosial Dr. David Matsumoto menyebutkan bahwa ucapan seperti terima kasih, maaf, dan minta tolong merupakan bagian dari norma universal dalam hampir semua budaya (Matsumoto, 2014). Ungkapan-ungkapan ini bukan sekadar formalitas, melainkan simbol penghargaan, kerendahan hati, dan tanggung jawab.

  • Terima Kasih
    Mengucapkan "terima kasih" bukan hanya menunjukkan penghargaan, tetapi juga memperkuat hubungan interpersonal. Penelitian dari Harvard Business School (Grant & Gino, 2010) menunjukkan bahwa ungkapan terima kasih dapat meningkatkan rasa dihargai dan memperkuat kerja sama.
  • Minta Tolong
    Saat seseorang mengucapkan "minta tolong", ia sedang membangun komunikasi yang setara dan sopan. Berbeda dengan memerintah, meminta tolong menunjukkan kesadaran bahwa bantuan orang lain bukan kewajiban, melainkan bentuk kebaikan.
  • Maaf
    Mengucapkan "maaf" tidak menjatuhkan harga diri, melainkan menunjukkan kedewasaan dan keberanian mengakui kesalahan. Dalam dinamika sosial, permintaan maaf dapat mencegah konflik yang lebih besar dan memperbaiki hubungan yang retak.


Namun, saat ini, banyak orang merasa enggan mengucapkannya karena dianggap "tidak penting" atau "sudah dipahami tanpa harus diucapkan." Padahal, komunikasi verbal tetap menjadi unsur penting dalam menjaga kejelasan makna dan niat baik.
Di era serba instan dan individualistik, empat hal sederhana ini menghindari bare minimum, serta membiasakan mengucap terima kasih, minta tolong, dan maaf menjadi semakin relevan untuk dijaga. Meski tampak kecil, mereka adalah fondasi dari kehidupan sosial yang penuh empati dan saling menghargai. Generasi muda, khususnya mahasiswa, memiliki peran penting untuk menghidupkan kembali etika ini, sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan karakter pribadi yang kuat. Dengan begitu, kita tidak hanya membentuk masyarakat yang cerdas secara intelektual, tetapi juga dewasa secara emosional dan etis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun