Indonesia dikenal sebagai negara hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, "Negara Indonesia adalah negara hukum." Artinya, hukum seharusnya menjadi panglima tertinggi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam kenyataannya, ungkapan "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas" kian akrab di telinga masyarakat. Ungkapan ini lahir dari realitas yang menyedihkan banyak kasus hukum justru menimpa masyarakat kecil secara keras, sedangkan pelanggaran oleh orang berkuasa kerap kali tidak tersentuh atau mendapat keringanan.
Fenomena ketimpangan hukum tampak jelas ketika masyarakat kecil yang melanggar hukum karena tuntutan hidup justru dijatuhi hukuman berat. Sebaliknya, pelaku korupsi yang merugikan negara hingga miliaran rupiah justru mendapat berbagai keringanan, seperti remisi, penundaan eksekusi, bahkan pembebasan bersyarat. Kondisi ini mencerminkan bahwa hukum kerap kehilangan fungsinya sebagai sarana keadilan, dan malah dimanfaatkan sebagai alat kepentingan oleh pihak berkuasa. Saya pun bertanya dalam hati, bagaimana bisa seorang ibu yang mencuri demi menyelamatkan anaknya dari kelaparan dihukum dengan keras, sedangkan koruptor justru memperoleh banyak kemudahan, bahkan kenyamanan selama menjalani hukuman. Bukankah Pasal 362 KUHP tentang pencurian berlaku untuk seluruh warga negara tanpa kecuali. Namun, dalam kenyataannya, terlihat jelas adanya perlakuan yang timpang antara rakyat biasa dan mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan atau uang.
Pemikiran saya kemudian tertuju pada apa yang pernah dikatakan Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa "hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum." Ini menegaskan pentingnya pendekatan hukum yang lebih manusiawi. Saya percaya bahwa keadilan tidak cukup dilihat dari sisi aturan formal, tapi juga dari konteks sosial yang menyertainya. Saya juga sependapat dengan pandangan John Rawls, bahwa keadilan yang sejati justru berpihak pada mereka yang paling lemah dalam tatanan sosial. Melalui teori hukum responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick, saya menyadari bahwa hukum yang ideal bukan hanya represif dan legal-formal, tapi mampu mendengar dan merespons kebutuhan masyarakat. Namun, yang saya rasakan dan lihat dari berbagai kasus, hukum di Indonesia masih lebih sering terlihat menunduk pada kekuasaan, dan keras terhadap mereka yang tak punya pilihan.
Keadaan ini menimbulkan keprihatinan serius terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia. Jika hukum terus tumpul terhadap kekuasaan dan hanya tajam kepada yang lemah, maka kepercayaan publik terhadap lembaga hukum akan terkikis. hal ini juga mencederai prinsip demokrasi dan keadilan sosial sebagaimana tercantum dalam sila kelima Pancasila dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya." Kalimat itu seharusnya bukan sekadar hiasan konstitusi, tetapi harus terwujud dalam tindakan nyata.
Menurut saya, sudah saatnya Indonesia melakukan pembenahan serius dalam sistem hukum. Kita tidak bisa terus menerus membiarkan ketimpangan ini terjadi, seolah-olah hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah. Saya percaya bahwa hukum yang adil bukan hanya soal aturan yang tertulis, tetapi juga tentang keberpihakan terhadap nilai kemanusiaan. Aparat penegak hukum harus memiliki integritas dan keberanian untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Begitu pula masyarakat, harus berani bersuara dan kritis terhadap ketidakadilan yang terjadi. Sebab kalau kita diam, maka ketimpangan ini akan terus berulang, dan harapan akan tegaknya hukum yang adil hanya akan menjadi angan-angan belaka. Saya yakin, perubahan memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Selama masih ada yang peduli dan berani memperjuangkan kebenaran, hukum yang manusiawi dan berpihak pada keadilan bisa kita wujudkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI