Halo Malaka
Daerah yang lebih dikenal dengan bahasa Melayu Malaka ini terletak hanya sekitar 2--2,5 jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur. Malaka merupakan salah satu negeri di Malaysia yang memiliki daya tarik tersendiri, kaya akan sejarah dan budaya.
Saya sempat mendengar tentang film The Little Nyonya dari teman saya yang mengambil latar di kota ini. Meski bukan dari era saya, cerita tentang film itu membuat saya semakin penasaran untuk melihat langsung jejak budaya Peranakan yang begitu kuat di sini.
Perjalanan saya ke Malaka ditempuh sekitar dua jam dari Kuala Lumpur dengan bus. Karena waktu terbatas, sesampainya di sana saya langsung menuju kawasan pusat kota, tepatnya di sekitar Dutch Square, atau yang lebih dikenal dengan nama Red Square. Tempat ini merupakan ikon wisata sekaligus pusat sejarah kota Malaka.
Tentang Red Square
Dari kejauhan, bangunan-bangunan berwarna merah bata langsung menyita perhatian saya. Warna yang khas ini memberi kesan unik, seolah membawa saya mundur ke masa kolonial Belanda. Suasananya hidup, ramai oleh turis, namun tetap menyimpan nuansa historis yang kuat.
Di jantung kota Malaka terdapat satu gereja Protestan kuno peninggalan zaman Belanda yang juga memiliki warna merah muda khas. Gereja ini bernama Christ Church Malaka, dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1741.
Arsitekturnya bergaya kolonial Belanda dengan ciri dinding tebal, atap curam, dan jendela-jendela besar. Menariknya, cat merah bata yang kini melekat pada setiap sudut gereja bukanlah warna aslinya. Awalnya, gereja ini berwarna putih, namun pada abad ke-19, ketika Malaka berada di bawah pemerintahan Inggris, bangunan ini dicat merah agar seragam dengan bangunan lain di sekitarnya.
Nasi lemak dan Ayam Upin Ipin
Menjelang makan siang, saya memutuskan untuk mampir ke sebuah restoran kecil di sekitar kawasan itu. Pilihan saya jatuh pada nasi lemak, hidangan tradisional yang tak hanya populer di Malaysia, tetapi juga di Singapura, Brunei, hingga Indonesia.
Saat menyantapnya, saya langsung teringat pada nasi uduk di tanah air. Rasanya memang mirip: sama-sama dimasak dengan santan dan daun pandan, menghasilkan aroma yang wangi sekaligus gurih. Bedanya, nasi lemak biasanya ditemani sambal pedas manis, ayam goreng khas upin ipin, timun, dan telur mata sapi, perpaduan sederhana, tapi bikin kenyang sekaligus puas.
Budaya Peranakan Tionghoa
Karena penasaran dengan sisi multikultural Malaka, saya pun menuju sebuah pasar yang dari kejauhan tampak dengan desain bergaya Tionghoa. Kebetulan saya datang saat menjelang imlek. Dominasi warna merah dan hiasan lampion semakin menegaskan suasana khas pecinan.
Jonker Street dikenal sebagai pusat Pecinan di kota tua Malaka. Pengaruh budaya Tionghoa di kawasan ini berawal sejak abad ke-15, ketika Malaka menjadi pelabuhan internasional penting di bawah Kesultanan Malaka. Saat itu, banyak pedagang Tionghoa yang datang, menetap, bahkan menikah dengan penduduk lokal hingga melahirkan komunitas Peranakan Baba-Nyonya.
Bagi wisatawan, Jonker Street adalah destinasi wajib. Bukan hanya karena pasar malamnya yang meriah, tetapi juga karena di sini terdapat rumah-rumah bersejarah, seperti Baba & Nyonya Heritage Museum, tempat kita bisa merasakan langsung jejak kehidupan komunitas Peranakan di masa lampau.
Pineapple Tart
Saat menyusuri kota Malaka, perhatian saya tertuju pada sebuah toko kue yang semerbak aromanya begitu menggoda. Wangi butter cookies yang keluar dari dalam membuat saya memutuskan untuk singgah sebentar.
Malaka memang memiliki kue khas yang mirip dengan nastar, yaitu tart nanas khas Malaka, atau yang lebih dikenal dengan pineapple tart. Resep kue ini dibawa oleh orang Portugis pada abad ke-16, ketika mereka menjajah Malaka. Kemudian, masyarakat Tionghoa Peranakan mengembangkannya dengan menambahkan buah lokal seperti nanas, hingga tercipta cita rasa unik yang bertahan hingga kini.
Sekilas, bentuknya memang tak jauh berbeda dengan kue nastar yang akrab kita temui saat hari raya di Indonesia. Kue mungil berisi selai nanas ini kini menjadi salah satu oleh-oleh paling ikonik dari Malaka.
Namun yang menarik, pineapple tart bukan hanya sekadar kudapan manis. Bagi masyarakat setempat, kue ini punya makna mendalam. Dalam bahasa Hokkien, nanas disebut (ong lai), yang secara harfiah berarti "datangnya keberuntungan". Tak heran jika pineapple tart kerap dianggap sebagai simbol kemakmuran dan kebahagiaan, serta selalu hadir dalam berbagai perayaan penting seperti imlek, natal ataupun hari raya.
Masih ada begitu banyak sudut Malaka yang ingin saya jelajahi mulai dari museum, kafe bergaya peranakan, hingga sudut-sudut kecil di sepanjang sungai yang katanya sangat indah di malam hari. Sayangnya, waktu saya terbatas dan perjalanan pulang ke Kuala Lumpur sudah menanti.
Meski singkat, kunjungan ini meninggalkan kesan mendalam: Malaka adalah kota kecil dengan sejarah besar, perpaduan budaya yang unik, dan suasana yang membuat saya ingin kembali suatu hari nanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI