Mohon tunggu...
Putri Anggraini
Putri Anggraini Mohon Tunggu... Lainnya - Life goes on
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ekonomi Islam 2020

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Abu Ubaid Cendekiawan Muslim Terkemuka Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar

23 Oktober 2021   22:19 Diperbarui: 23 Oktober 2021   22:33 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abu ubaid bernama lengkap Al -- Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid  Al -- Harawi Al- Azadi Al- Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah laut Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai dikota kelahiranya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu di berbagai kota, seperti Kufah, Basrah, dan Baghad. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Malik, Gubernur Thugur dimasa pemerintahan Khalifah Harun Al- Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi ( hakim ) di Tarsus hingga  tahun 210 H.
    

 Filoslofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang di implementasikan melalui kebijakan -- kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknorat yang berstandar pada kemampuan teknis.
   

  Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islami yang berakar dari pendekatan nya yang bersifa holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat, baik bersifat individual maupun sosial.
    

 Berdasarkan hal tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi cendekiawan Muslim terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah ( abad kesembilan Masehi ) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Alquran dan Hadis melalui reformasi dasar- dasar kebijakan keuangan dan instusinya.
    

Berkat pengetahuan dan wawasannya yang begitu luas dalam berbagai bidang ilmu, beberapa ulama Syafi'iyah dan Hanabilah mengklaim bahwa Abu Ubaid berasal dari mazhab mereka, walaupun fakta fakta menunjukan bahwa Abu Ubaid adalah seorang fuqaha yang independen.  
    

Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan muslim kepada Allah SWT. Hal ini berarti ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
  

  Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya bin Umar tertuju pada hukum hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan tentang tas'ir ( penetapan harga). Penetapan harga (al-tas'ir) merupakan tema sentral dalam kitab ahkam al-suq. Imam Yahya bin Umar, berulang kali membahasnya di berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.

    Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas'ir ( penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadits nabi Muhammad Saw, antara lain: Dari Anas bin Malik, ia berkata: " telah melonjak harga ( di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka ( para sahabat) berkata: " wahai Rasulullah, terapkanlah harganya bagi kami". Rasulullah menjawab "sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu Allah dan tidak seorang pun ( boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta". (Riwayat abu Dawud)
Tentang ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak memperdulikan peringatan tersebut, pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, lari mengelilingi kota, dan memenjarakannya.
Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti ihtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini juga berarti bahwa dalam ekonomi Islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh kekayaan secara semena-mena.

Artikel ini ditulis oleh :Putri Anggraini, Nurainis, Ahmad Zainuri  Mahasiswa Ekonomi Islam  feb Universitas Jambi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun